Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menelisik Kecenderungan Bunuh Diri Dokter Spesialis

24 April 2024   16:57 Diperbarui: 29 April 2024   19:17 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Dokter Spesialis. (Sumber: KOMPAS/SPY)

Menelisik Kecenderungan Bunuh Diri Dokter Spesialis di Negeri Ini

Kita prihatin mendengar kabar langsung dari Presiden Jokowi bahwa ada temuan ratusan peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang mengalami depresi sampai memiliki keinginan bunuh diri. 

Pemerintah kata Presiden telah berupaya meminimalisir hal tsb dengan revisi Undang-Undang Kesehatan yang disahkan belum lama ini. Adanya revisi tsb, akan mempermudah dokter untuk menjalani program spesialis.

Ini berawal dari survei tentang PPDS di 28 RS vertikal pendidikan bagi 12.121 PPDS. Dan hasil survei, skrining awal menemukan ada 2.716 PPDS yang mengalami gejala depresi, 1.977 di antaranya mengalami depresi ringan, 486 depresi sedang, 178 orang mengeluh depresi sedang sampai berat, dan 75 orang mengalami depresi berat.

Program studi yang melaporkan calon dokter spesialis dengan gejala depresi terbanyak teridentifikasi di lima program studi berikut : Ilmu Penyakit Mulut (53,1 persen); Ilmu Kesehatan Anak (41,3 persen); Bedah Plastik (39,8 persen); Anestesiologi (31,6 persen).

Ini adalah isu yang memprihatinkan, mengingat Presiden terpilih Prabowo Soebianto telah menegaskan semasa kampanye kepresidenan bahwa program kedokteran dan layanan kesehatan di negeri ini akan diperbaikinya. 

Revisi Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan memang diharapkan dapat membantu meminimalisir hal tsb dengan mempermudah dokter untuk menjalani program spesialis

Depresi adalah masalah kesehatan mental yang kompleks dengan berbagai faktor penyebab. Kesulitan dalam menjalani program spesialis di Indonesia mungkin menjadi salah satu faktor pemicunya, tetapi tidak dapat diartikan sebagai satu-satunya penyebab.

Terkait hasil survei, meski ditemukan hubungan antara program studi tertentu dengan depresi berat dan dorongan bunuh diri pada PPDS, penting untuk diingat bahwa korelasi tidaklah sama dengan kausalitas. Artinya, temuan ini tidak menunjukkan bahwa program studi tsb secara langsung menyebabkan depresi atau dorongan bunuh diri.

Berdasarkan pengamatan dan input dari sejumlah interaksi dengan dunia medik di kota Jakarta dan Malang, saya pikir ada sejumlah kemungkinan yang dapat menjelaskan mengapa program studi Ilmu Penyakit Mulut, Ilmu Kesehatan Anak, Bedah Plastik, dan Anestesiologi memiliki proporsi PPDS dengan depresi berat dan dorongan bunuh diri yang lebih tinggi :

1. Beban Kerja Tinggi dan Tuntutan Pekerjaan

Program studi tsb mungkin memiliki beban kerja yang lebih tinggi dan tuntutan pekerjaan yang lebih berat dibandingkan dengan program studi lain. Hal ini dapat menyebabkan stres, kelelahan, dan burnout, yang merupakan faktor risiko depresi.

2. Sifat Pekerjaan

Pekerjaan di beberapa program studi tsb mungkin lebih stresful dan traumatis dibandingkan dengan program studi lain.

Contohnya, dokter bedah plastik sering menangani pasien dengan kondisi yang kompleks dan berisiko tinggi, dan dokter anak mungkin harus menangani pasien yang mengalami kondisi kritis atau meninggal dunia.

Paparan stres dan trauma ini dapat meningkatkan risiko depresi dan gangguan kesehatan mental lainnya.

Stress Berat. Foto : Pict Twitter via id.quora.com
Stress Berat. Foto : Pict Twitter via id.quora.com

3. Budaya Program Studi

Budaya atau lingkungan di beberapa program studi tsb mungkin kurang suportif dan lebih kompetitif. Hal ini dapat membuat PPDS merasa tertekan dan terisolasi, yang dapat meningkatkan risiko depresi.

4. Faktor Seleksi

Ada kemungkinan bahwa program studi dengan proporsi depresi yang lebih tinggi memiliki proses seleksi yang lebih ketat, sehingga menarik pelamar yang lebih rentan terhadap depresi.

5. Faktor Lain

Faktor lain di luar program studi, seperti masalah pribadi atau riwayat kesehatan mental, juga dapat berkontribusi terhadap depresi pada PPDS.

Depresi adalah penyakit yang kompleks dengan berbagai faktor penyebab, dan tidak mungkin untuk menentukan penyebab pasti pada setiap kasus.

Temuan survei ini dapat menjadi awal mula yang baik untuk penelitian lebih lanjut untuk memahami faktor-faktor risiko depresi pada PPDS di program studi tertentu.

Mengenai degradasi moral di kalangan medik, tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung kesimpulan tsb. Depresi adalah masalah kesehatan mental yang dapat menyerang siapa saja, dan tidak terkait dengan moralitas individu.

Karenanya penting untuk memperlakukan depresi dengan serius dan mencari bantuan profesional bagi PPDS yang membutuhkan.

Upaya untuk meningkatkan kesehatan mental PPDS seyogyanya harus difokuskan pada pengurangan stres dan beban kerja. Hal ini dapat dilakukan dengan meninjau kembali program studi, meningkatkan jumlah staf pengajar, dan memberikan lebih banyak waktu istirahat bagi PPDS; meningkatkan dukungan sosial. 

Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan program mentoring, kelompok pendukung, dan layanan konseling; meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan mental. 

Dapat juga dilakukan dengan bekerjasama dengan psikolog dan terapis untuk menyediakan layanan kesehatan mental yang mudah diakses dan terjangkau bagi PPDS; meningkatkan kesadaran tentang depresi dan cara mengatasinya. Hal ini dapat dilakukan melalui edukasi dan kampanye kesadaran publik.

Karenanya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memahami faktor-faktor risiko depresi pada PPDS di Indonesia. Hal ini dapat membantu mengembangkan intervensi yang lebih efektif dan tepat sasaran.

Dengan upaya bersama dari berbagai pihak, diharapkan depresi pada PPDS dapat diatasi dan mereka dapat menjalani program studi dengan lebih baik.

Joyogrand, Malang, Wed', Apr' 24, 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun