Terkait potensi durasi perang di Gaza dan upaya Presiden Joe Biden untuk menahan ambisi PM Israel, Benjamin Netanyahu, mencerminkan dinamika kompleks dalam politik dan konflik di Timur Tengah, dimana Biden berusaha untuk membatasi tindakan militer Israel di Gaza dalam rangka mendorong solusi damai dan menghindari eskalasi konflik yang lebih besar.
Skenario pemulihan Otoritas Palestina dengan Fatah yang mengelola Tepi Barat dan Gaza, serta kemungkinan dimulainya kembali perundingan untuk membahas pembentukan negara Arab-Palestina, mencerminkan upaya diplomasi yang kompleks di Timur Tengah, Dimana terdapat perbedaan pendekatan antara pemerintahan Biden dan PM Israel, Benjamin Netanyahu, dalam menghadapi konflik Israel-Arab-Palestina.
Presiden Biden telah menunjukkan niat untuk kembali fokus pada solusi dua negara, yang melibatkan pembentukan negara Arab-Palestina yang merdeka berdampingan dengan Israel. Upaya ini antara lain mencakup memulihkan dukungan AS terhadap lembaga-lembaga Arab-Palestina, termasuk Otoritas Arab-Palestina yang dikelola oleh Fatah.
Di sisi sebelah yi mandala Eropa. Pandangan bahwa Ukraina adalah bagian Rusia yang tak terpisahkan adalah pandangan yang kontroversial dan tidak sepenuhnya mencerminkan kerangka pemahaman yang umum di dunia barat.
Pada tahun 2014, Russia secara kontroversial menyerap wilayah Krimea yang sebelumnya merupakan bagian dari Ukraina, hal ini menyebabkan reaksi keras dari banyak negara dan organisasi internasional, termasuk AS.
AS dan sebagian besar negara di dunia mengakui Ukraina sebagai entitas yang memiliki hak atas integritas teritorialnya. Sanksi-sanksi ekonomi dan tekanan diplomatik telah diambil sebagai respons terhadap tindakan Rusia di Krimea dan konflik di wilayah timur Ukraina.
Di mandala Timur Tengah, Trump adalah peletak dasar Abraham Accord. Ia akan menyelesaikan apa yang dimulainya begitu ia kembali memimpin Amerika menggantikan Biden yang semakin tak populer karena kelewat boros untuk rezim korup Zelensky yang dimanjakannya di Ukraina.
Abraham Accords adalah kesepakatan normalisasi hubungan antara Israel dengan Uni Emirat Arab (UAE) dan Bahrain yang dicapai pada tahun 2020 di bawah pemerintahan Trump. Kesepakatan ini dianggap sebagai langkah signifikan dalam menciptakan hubungan diplomatik antara Israel dan negara-negara Arab, meskipun ada pula pandangan kritis terkait dampaknya terhadap isu Arab-Palestina.
Abraham Accords adalah perjanjian yang menciptakan hubungan normalisasi antara Israel dengan beberapa negara Arab, terutama Uni Emirat Arab (UAE) dan Bahrain. Inilah beberapa hal penting yang membuat Abraham Accords dianggap sebagai instrumen yang dapat menstabilkan geopolitik di Timur Tengah:
Kesepakatan ini menciptakan hubungan diplomatik penuh antara Israel dengan UAE dan Bahrain. Ini adalah langkah signifikan karena sebelumnya, kebanyakan negara Arab menolak untuk menjalin hubungan resmi dengan Israel tanpa adanya penyelesaian konflik Israel-Arab-Palestina.
Abraham Accords diharapkan dapat mengurangi ketegangan dan meningkatkan stabilitas di kawasan Timur Tengah. Normalisasi hubungan ini dapat membuka jalan bagi kerjasama ekonomi, keamanan, dan budaya antara negara-negara tsb.