Bagaimana Negara-Negara Muslim Merespon Kampanye Militer Israel di Gaza
Para pemimpin Arab dan Muslim memerlukan waktu 35 hari sejak perang berkecamuk di Gaza untuk mengadakan "pertemuan darurat" guna membahas kampanye militer Israel di Gaza. Keterbatasan kemampuan mereka untuk mempengaruhi perkembangan terlihat jelas ketika mereka akhirnya berkumpul akhir pekan ini di ibukota Saudi, Riyadh.
Begitu pula dengan perbedaan-perbedaan yang menimbulkan pertanyaan mengenai upaya-upaya dalam beberapa tahun terakhir untuk mengurangi ketegangan regional secara berkelanjutan tanpa menyelesaikan perselisihan dan konflik mendasar.
KTT gabungan Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara, yang mencakup semua negara Arab, didominasi oleh seruan wajib untuk gencatan senjata segera, penyediaan bantuan kemanusiaan tanpa batas, pembebasan 240 sandera oleh Hamas, sebagian besar warga sipil, dan resolusi konflik Israel-Palestina, serta kecaman atas tindakan Israel dalam perang Gaza.
Sebuah ironi, Presiden Suriah Bashar al-Assad, yang mengobarkan perang selama satu dekade yang didukung Rusia dan Iran melawan pemberontak yang menentang rezimnya dengan cara yang sama seperti Israel menyerang Gaza, menghadiri pertemuan puncak di Riyadh.
Negara-negara Arab mengembalikan Assad ke negara Arab sebagai bagian dari upaya mereka untuk mengurangi ketegangan regional dan memastikan ketegangan tidak lepas kendali. Liga Arab membekukan Suriah pada tahun 2011 pada awal perang saudara.
Dalam pidatonya di KTT tersebut, Presiden Iran Ebrahim Raisi menjelaskan pemulihan hubungan diplomatik antara republik Islam Iran dan Arab Saudi yang dimediasi China pada awal tahun ini sebagai bagian dari upaya deeskalasi regional. Sayang Iran dan Saudi tidak melakukan apa pun untuk mengubah kebijakan yang ada. Yang adalah akar dari banyak permasalahan regional.
Yang pasti, sebagian besar pemimpin Islam dan Arab hanya terinspirasi oleh dukungan Raisi terhadap gencatan senjata segera di Gaza dan keinginannya untuk mencegah perang meluas secara regional.
Namun di situ pulalah desahan lega mungkin berhenti, sebab sebagian besar pidato Raisi menekankan hal-hal yang paling dikhawatirkan oleh negara-negara seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, khususnya dalam hal menyoroti perbedaan kebijakan yang mendasar.
Raisi memuji Hamas dan milisi Syiah Lebanon, Hizbullah, yang merupakan aktor non-negara yang dipandang di Riyadh dan Abu Dhabi sebagai proksi Iran yang dirancang untuk mencampuri urusan dalam negeri Arab, dimana Raisi memuji tangan Hamas atas perlawanannya terhadap Israel.