Cawapres 2024 : Alot tapi Super Elastis Menggemaskan
Pemilu demokrasi dimanapun sama. Yang berbeda hanya usianya saja, apakah demokrasi di sebuah negara masih anak-anak, remaja, pemuda atau sudah matang dan dewasa dalam berdemokrasi.
Benar Francis Fukuyama bahwa demokrasi liberal adalah puncak dari evolusi politik umat manusia, dengan catatan kebenaran ini tak boleh dipukul rata harus seperti demokrasi ala barat yang banyak diwarnai AS, Inggeris dan Perancis, tapi tentu bergantung pada banyak hal utamanya masalah kultural. Singkatnya, negara-negara modern sekarang pastilah berdemokrasi, tapi tentu disesuaikan dengan sikon kulturalnya.
Begitulah dengan Indonesia yang kini sedang "hepot" menuju pesta rakyat yi pemilu serentak pada 2024 yad. Partai lama sibuk menata partainya bagaimana agar berhasil meraup suara sebanyak-banyaknya. Partai baru tapi bukan barang baru melainkan stock lama yang berhasil terdaftar kembali di KPU sibuk berkasak-kusuk bagaimana agar parliamentary threshold dapat terpenuhi pada pemilu yad. Pokoknya gue harus bisa duduk di senayan. Taktik yang termudah adalah dengan pendekatan "tail coat effect", seperti PSI yang mendekati Kaesang untuk Walkot Depok, termasuk mendekati Prabowo, plus memperbanyak artis dan musisi di barisannya, siapa tahu tail coat effect dari semuanya itu bisa menyelamatkan PSI dalam pemilu yad.
Lalu bagaimana dengan persiapan Capres. Sejauh ini tak ada lagi kabar-kabari lain ntah Mbak Rieke Dyah Pitaloka PDIP jadi capres misalnya. Kalau ini yang terjadi pasti geger. Tapi jumlah yang diusung jadi capres hanya 3 nama itu saja, yi Prabowo Soebianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Kl 5 bulan lagi ke depan kontestasi capres sudah akan dimulai. Tapi soal cawapres yang bakal mendampingi ketiga capres itu masih terombang-ambing di lautan politik, mirip permainan bola di stadion GBK. Bola sibuk digocek di lapangan penalti dan ditendang kembali ke arah kapten kesebelasan agar sang Kapten mengarahkan kembali bola kepada ujung tombak kesebelasan yang berlarian di seputar gawang lawan. Capek deh, komentar sejumlah orang.
Meski belum terjadi pertumbukan besar dalam kontestasi Pilpres, tapi penetapan cawapres kali ini memang berbeda dengan pilpres yang sudah-sudah. Permainan terkesan alot, tapi minta ampun Super Elastis Menggemaskan. Anies dan Nasdem yang mencapreskannya sebagai contoh. Betapa banyak diksi politik yang dipakai antara memilih AHY atau cawapres yang diusung PKS, atau malah cawapres alternatif yang mungkin punya efek besar terhadap suara pemilih, misalnya mencawapreskan Yenny Wahid, atau Soesi Pudjiastuti dst. Tapi sejauh ini Nasdem dan Anies belum bisa mengambil keputusan untuk itu. Begitu juga dengan Prabowo Soebianto dan Ganjar Pranowo. Malah yang terjadi adalah saling kunjung antar capres, dan bukannya segera menentukan cawapres yang bakal mendampinginya.
Ini semua bukan sekadar melamban begitu saja. Tetapi kunci utama disini adalah Presiden Jokowi sendiri. Jokowi menjadi faktor kunci setelah Bung Karno. Dengan kata lain, Jokowi adalah tokoh nasional kedua yang mampu memancarkan aura yang mampu menghipnotis publik luas. Ini bukan neo-feodalisme yang banyak dituduhkan barat. Tidak. Jokowi adalah role model dalam Sistem Demokrasi Pancasila now. Kepemimpinannya yang teduh, kemampuannya mengeksekusi sebuah kebijakan strategis dan kedekatannya kepada wong cilik tanpa harus menghardik semua lawan politiknya yang diwakili para buzzers bermulut tajam seperti Rocky Gerung dan Refly Harun misalnya. Itu semua telah menaikkan pamornya di pentas nasional maupun internasional. Tak heran tingkat kepuasan rakyat mencapai kl 80%. Ini sungguh fantastis, bahkan telah memecahkan rekor kepemimpinan nasional mulai dari Habibie hingga Esbeye.
Tak heran semua capres sibuk mengintai kemana langkah Jokowi berikutnya setelah belum lama ini seakan-akan mendukung Prabowo. Mereka sadar, kemana Jokowi melangkah, maka jejak langkahnya pasti berpengaruh sangat besar terhadap capres yang berada di jejak langkah itu.
Exposure dan/atau hipnotisme inilah yang membuat pengusungan cawapres ketiga capres definitif itu jadi agak tersendat. Pilah-pilihnya terkesan alot sekaligus super elastis, karena terpaku pada langkah Presiden dalam mengakhiri masa kekuasaannya pada Oktober 2024 yad. Jelas marketing politik disini gugur tak berdaya melawan pesona seorang Jokowi.