Membangunkembangkan Aura Tano Batak dalam Kepariwisataan Toba
Traveling ke Bali, sangat mudah mengucapkannya dan mudah pula mereka-rekanya karena Bali sudah lekat khusus di benak kita sebagai DTW (Daerah Tujuan Wisata Utama) di Indonesia.
Traveling ke Danau Toba? Inilah yang jadi persoalan. Yang pasti di benak orang yang menggemari traveling atau orang yang suka berwisata, traveling ke Toba hanya berarti berwisata ke Danau Toba.
Orang tak banyak tahu dalam term kepariwisataan yang benar, Toba itu adalah salah satu kawasan wisata bahkan nama sub-suku dari 5 puak orang Batak yang meliputi Batak Toba, Batak Angkola, Batak Karo, Batak Pakpak dan Batak Simalungun.
Mereka semua settled di lingkar Danau Toba dan dalam konteks Otoda kelima puak itu dalam kepariwisataan Toba seharusnya terintegrasi kedalam 7 resort wisata yang meliputi Kabupaten Taput (Tapanuli Utara), Toba, Samosir, Humbahas (Humbang Hasundutan), Dairi, Karo dan Simalungun.
Karena ketujuh distrik itu berada di lingkar Danau Toba yang maha luas, maka untuk mudahnya ketujuh distrik itu kita sebut saja tano Batak yang dalam hal ini adalah genus kepariwisataan Toba.
Jadi kalau traveling ke Danau Toba hanya berarti "ngelencer" ke Danau Toba sebagai satu-satunya obyek wisata di tano Batak. Itulah kerancuan yang terjadi dalam kepariwisataan tano Batak.
Tak heran komunitas pariwisata di negeri ini selalu kebingungan kalau hanya Danau Toba dan Samosir saja yang dijual. Bagi Annette Horschmann misalnya yang adalah pemain lama di bisnis akomodasi dan restauran dengan bendera Tabo Cottage di Tuktuk Samosir, mujur bagi dia, karena cukup hanya melalui situsnya www.tabocottage.com, turis dari Eropa Barat khususnya tempat asalnya Germany bisa berdatangan traveling ke Danau Toba. Mereka datang bukan karena aura tano Batak, melainkan karena aura Danau Toba.
Inilah yang perlu diubah oleh pemerintah dan stake holder kepariwisataan Danau Toba. Kita harus bisa menunjukkan kepada dunia bahwa Danau Toba hanyalah salah satu obyek wisata alam saja di tano Batak.