Bukan masalah baru
Krisis lahan pemakaman bukan barang baru bagi Jakarta. Persoalan ini sudah ada sejak Jakarta mulai ditata modern oleh Bang Ali Gubernur DKI Jakarta yang fenomenal di zaman Orba.Â
Dalam perjalanan waktu TPU Blok P Kebayoran Baru, Jaksel, misalnya. TPU itu terpaksa harus digusur dan berganti fungsi menjadi perkantoran Walikota Jaksel, dan sebagian lainnya untuk kondominium yang bersebelahan dengan kompleks perumahan Depkeu di Jln. Bank.
Di masa 3 tahun pandemi, masalah ini menjadi rumit, karena angka pemakaman tiba-tiba melonjak, seperti pada 1 maret 2020 hingga 21 Januari 2021, total ada 49.994 pemakaman jenazah di seluruh Jakarta. Rata-rata terjadi 153 pemakaman orang setiap harinya -- lih cnnindonesia.com, Pebruari 2021.
Faktor penyebab kematian itu al sakit biasa, usia tua. Data sampai 2019 menunjukkan penduduk di atas 60 tahun di Jakarta mencapai 1.282.152 orang, baik lelaki maupun perempuan.
Satu petak makam membutuhkan lahan sekitar 5,5 M2. Angka itu dari 1,5X2,5 M petak makam, ditambah sedikit luasan sarana dan prasarana. Jika diambil angka 153 orang yang dimakamkan per harinya, maka kebutuhan lahan makam di Jakarta  per tahunnya akan seluas 307.147,5 m2 (30,71 Ha). Repot memang.
Persoalan lahan
Ada 3 faktor yang menyebabkan kurangnya lahan untuk pemakaman umum. Pertama, karena masifnya pembangunan di tengah kota yang akhirnya menggusur TPU-TPU.Â
Kedua, cara pemakaman masih konvensional, yi satu lubang untuk satu jenazah. Dengan jumlah katakanlah rata-rata 100 pemakaman orang per hari, menjauh dari angka dimasa pandemi yi 153 orang per hari, maka satu lubang satu jenazah, lahan pemakaman itu tidak akan cukup.Â
Ketiga, pengadaan lahan makam di Jakarta sangat lambat. Lahan yang tersisa sekarang adalah lahan mati yang sulit digarap. Perluasan lahan TPU di  kota pasti sulit, maka alternatif di pinggiran Jakartalah yang masuk akal. Itu pun harus tidak berdekatan dengan pemukiman warga.