Nyruput Kopi di Giyanti Coffee dan Pemanusiawian Warkop Kaki Lima
Musim panas kali ini medio 2023 memang musim panas yang tak ada duanya di Jakarta. Setibanya dari Malang pagi 11 Juni 2023, tengah hari aku terpaksa bersembunyi di pondokan my daughter di bilangan Karet, Semanggi, Setiabudi, Jaksel. Ada mesin pelembut bagus ciptaan wong bule disini, yi AC.
Mesin jadul yang terus dipermodern itu kini jadi tumpuan warga di musim panas menyengat di Jakarta. Sekurangnya mereka akan sembunyi di Indomaret atau bila perlu nongkrong di mal-mal yang ada di lingkungannya masing-masing seperti GI atau Grand Indonesia shopping mall, apalagi kalau bukan menyejukkan diri sesaat, meski hanya "ngeskrim", yang penting kulit sawo matang terpanggang Mentari puanas Juni didinginkan dulu. Turis-turis bule yang terpanggang Mentari, kelihatannya cuek saja, tak heran mereka sedang nyoklatin badan, tapi bagaimanapun terlihat "letek kemringatan begitu". No problem, kata si bule. Itu katanya, tapi kata kita lain halnya, puanass rek.
Lain tengah hari, dan lain pula sore jelang malam. Di tengah suhu yang semakin melunak saya diajak my daughter dan boy friend-nya "nyarkop" atau nyari kopi di kafe-kafe seantero Jakpus. Dari sekian banyak kafe di bilangan itu, kami pun nyangkut di Giyanti Coffee, Jln Surabaya yang berdekatan dengan komunitas penjaja barang loakan yang kesohor sejak lama dan banyak dikunjungi turis yang siapa tahu dapet barang kuno yang didambakannya ntah itu Keris Jawa atau Radio Philips jadul berwarna coklat tua buatan Belanda tempo doeloe yang bentuknya lucu keq roti tawar jadul, dan setahuku radio jadul merk Philips itu banyak didambakan turis Belanda. Why? tanyaku suatu ketika, lha di negeriku "Londo" radio Philips berbentuk roti tawar itu sudah jadi barang antik karena super langkanya. O gitu tah.
Ketika memarkir mobil, terbaca agak samar di sebelah kiri yi Giyanti Coffee. Kesan pertama, parkirannya mediumlah, maklum daerah padat. Tampak depan sepertinya gedung lama yang nggak tua-tua banget, dan bangunan 2 lantai itu terlihat langsing begitu, dan ketika masuk kedalamnya harus melewati gang kecil di sisi kiri si ramping. Yang tadinya kepikiran macem-macem, sontak berubah, ketika semakin kedalam, interiornya ternyata sudah divintage jadi kafe bernuansa jadul tapi lumayan menarik.
Setelah celingak-celinguk dimana nih dimana nih, kami pun pilih bagian tengah Giyanti yang memang dikhususkan bagi penghisap sigaro, sedangkan ke samping kanan dan seterusnya hingga ke lantai dua, itu dikhususkan buat mereka yang pengen nyepi dan jauh dari asap pemadatan ntah itu Dji Sam Soe, ntah itu Lucky Strike, ntah itu rokok kemenyan dst.
Singkat kata, di Giyanti Coffee yang dinakhodai Cino Jowo berdialek Semarang-an ini, kita bisa menikmati sejumlah kopi Indonesia yang diracik secara modern.
Melihat sekilas daftar menu, aku sepertinya lagi mood sama Americano yang strong. Ada memang espresso yang biasa bertakaran kecil tapi diekstraksi dengan mesin kopi yang oke punya, sehingga bisa menghasilkan sebuah intipati kopi hitam yang ngeri-ngeri sedap, tapi sore itu nggaklah. Lain kali ntahlah, misal nih lagi mikirin yang dalem-dalem seperti visi Pak Jokowi tentang Indonesia Jaya 2045. Espresso ala Giyanti Coffee keqnya bisa memicu dopamine kita lebih seru, ntah itu soal Prabowo alias Wowok, ntah itu soal Anies alias Nis-Nis, ntah itu soal Ganjar alias Juragan sedang belajar dst dst.