Pemberdayaan UMKM Se-Nusantara Pasca Pandemi
UMKM atau Usaha Mikro Kecil dan Menengah adalah suatu badan usaha atau usaha perseorangan berskala kecil yang terbatas pada jumlah pekerja, aset, dan omset, dan usaha tsb dikelola secara sederhana yang umumnya menggunakan cara dan siasat bisnis yang biasa atau sederhana apa adanya.
Dalam rumpun UMKM, pengusaha yang sudah dikategorikan kelas menengah, sebetulnya tak terlalu pusing, siasat bisnis dari si Abdul pun jadi, yang penting bisnis berputar baik. Kalau pebisnis menengah ini kontraktor rekanan pemerintah katakanlah di Kota/Kabupaten, saran si Gofar pun jadi, ntah itu cara-cara meng-approach Bos Pemegang Kuasa Anggaran di Kota/Kabupaten yang membawahi proyek tertentu yang kelihatannya gurih begitu, sehingga air liur si kontraktor bernama Polan yang bukan Polandia ini sudah sejak kemarin-kemarin keluar, syukur-syukur nggak dikerubungi lalat hijau.
Kebalikannya bagi pengusaha kecil apalagi mikro, bayangkan mikro, melihatnya pun harus pakai mikroskop segala. Jangan-jangan itu pun nggak kelihatan saking kecilnya. Tapi syukurlah mikroskop canggih ternyata ada meskipun tak banyak di masyarakat sekitar kita.
Dalam keseharian, coba periksa dengan mikroskop alami tapi canggih itu mana-mana saja usaha mikro, lalu periksa apakah mereka berbisnis di lahan sendiri, lalu periksa lagi, berapa rental tempat usaha 2X2 meter disitu. Setelah semuanya itu, coba rasakan nafas anda dan bagaimana denyut nadi anda. Tarik nafas terus bukan diiringi denyut nadi ibarat irama krl di rel KAI Jabodetabek, bahkan sudah mirip dengan lagu Money dari Pink Floyd yang kian lama kian mendaki mencapai sebuah klimaks oh money and money.
Itulah sosok si Mikro dan si Menengah. Yang membedakan keduanya hanya kiat dalam berbisnis saja.
Tak heran kalangan orang pintar sudah sejak lama menamainya Usaha Mikro, ntah itu tukang jamu keliling bakulan, ntah itu pedagang rombong atau gerobak yang didorong-dorong keliling kampung, syukur-syukur sudah dimodalin mesin gojek agar bisa keliling kota, bahkan pernah saya lihat saking mikronya ada usaha di Tangerang yang menjual rujak dengan alat uleg tradisional keliling dipikul kampung ke kampung. Sesudah dicoba, lumayan juga, tapi ketika si mikro ditanya ini itu, ya planga-plongo.
Disinilah perlunya pemerintah memfasilitasi usaha mikro yang bertebaran di segenap penjuru nusantara ini dengan sebijak-bijaknya. Bagaimana tidak, karena merekalah sesungguhnya soko guru perekonomian rakyat di negeri ini. Menurut Data Kementerian Koperasi dan UMKM tahun 2020-an, mayoritas pelaku UMKM yang jumlahnya jutaan itu mengalami berbagai kondisi serius akibat pandemi Covid-19 yang terdiri dari 56% mengalami penurunan penjualan, 22% mengalami kesulitan modal, 15% mengalami kesulitan dalam distribusi produk dan 4% kesulitan dalam pengadaan bahan baku. Para pelaku UMKM juga terpaksa melakukan PHK.
Normal baru yang baru saja berjalan setelah pembatasan ini itu dicabut oleh pemerintah, meski sudah sedikit bernafas, tapi pada kenyataannya banyak pengusaha UMKM yang masih megap-megap, karenanya diperlukan strategi yang tepat untuk mengembalikan eksistensi UMKM di persaingan bisnis. Strategi seperti apa itu. Pemerintahlah yang memikirkannya. Tapi yang pasti bagaimana mendudukkan yang masih megap-megap itu di kursi UMKM yang sebenarnya.