Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Artis Dalam Demokrasi Kita Now

17 Mei 2023   16:26 Diperbarui: 17 Mei 2023   16:29 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artis Dalam Demokrasi Kita Now

Fenomena para artis nyaleg sekarang ini dalam rangka pemilu serentak 2024. Itu bukan hal yang luar biasa. Di luar negeri pun seperti itu, bahkan pernah Ilona Staller bintang porno Italy nyaleg dan ternyata lolos. Di AS jangan ditanya, lihat Ronald Reagan mantan bintang Hollywood yang begitu fenomenal ketika jadi AS 1, Arnold Schwarzenegger, Shirley Temple dst. Filipina tetangga terdekat kita, seorang Joseph Ejercito Estrada mantan aktor pernah jadi presiden Filipina dari 1998-2001.

Di zona publik kita. Begitu Ketum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Giring Ganesha, mendaftarkan 580 nama bacaleg ke KPU RI, Jakarta Pusat, Minggu 14 Mei ybl, publik sedikit heboh. Sebab dari 580 daftar nama bacaleg tsb, Giring mendaftarkan dirinya sendiri, termasuk musisi Mongol Stres, Dosen dan Pegiat sosial Ade Armando hingga Badai mantan kibordis Kerispatih. Lha koq para artis.

Tidak hanya PSI, tapi artis serupa itu juga kita jumpai dicalegkan partai lainnya seperti Melly Goeslaw, Once, Achmad Dhani Dewa 19 bersama kedua anaknya, Taufik Hidayat, Ari Sihasale dll di Gerindra; ada eks musisi Kangen Band di Demokrat; ada Aldi Taher di Perindo; ada Tommy Kurniawan dan Norman Kamaru di PKB; ada Eko Patrio, Opie Kumis dan Astrid Uya di PAN. Dan daftar ini akan terus menggelinding di lantai politik Indonesia sepanjang pendaftaran di KPU belum ditutup sesuai jadwal.

Apakah fenomena ini akan memudahkan kita untuk mengatakan bahwa proses kaderasi di kepartaian kita gagal total. Atau dibalik yang lebih mudah sedikit, apa artis-artis ini takut kelaparan di hari tuanya karena kebelumberesan masa depan keartisan di negeri ini. Atau yang sedikit nyeleneh, apa ini hanya menggambarkan betapa katroknya anak bangsa ini dalam berpolitik, sampai artis-artis yang tak ngerti tentang definisi "exercise of power" saja harus digiring ke arena pemilu.

Bisa, bisa, semuanya itu bisa-bisa saja. Karena sudut pandang dalam alam demokratis akan selalu prismatik atau terdifferensiasi seperti itu, jangan dihalang-halangi, except kitorang (kita orang) yang sudah tahu bagaimana teknik menapisnya agar jernih kembali bagaimana menyikapinya. Bukan soal what next, tapi what should we do dengan realitas politik sekarang dimana tetiba artis anak negeri berbaris kuda lumping didaftarkan sebagai caleg ke KPU.

Keartisan dalam politik

Negeri asal musik ndangdut India via Bollywood juga telah menghasilkan sejumlah politisi yang berasal-usul artis. Para artis India yang kemudian menjadi politisi ini sangat mahir memainkan perannya di teater politik India. Mitologi India yang banyak dewa-dewinya itu sangat mendukung keberadaan mereka di pentas politik. Sebagaimana lakon mereka di layar lebar seakan dewa-dewi Hindu yang menghanyutkan publik, itulah pesona mereka dalam mempertahankan bahkan memperluas fansnya di panggung politik India.

Bergeser ke benua biru Eropa, pada tahun 1987, Ilona Staller, mantan bintang porno Italy terpilih menjadi anggota parlemen. Yang mengecam Ilona hanya seupil orang saja, tapi mayoritas masyarakat mendukungnya, terutama kaum pria yang mengagumi keseksongan Ilona Staller. Kita mau bilang apa, sekalipun Teokrasi Katholik berpusat di Vatikan, Roma, Italy, itu tak menggugurkan si seksong Ilona menjadi anggota parlemen.

Kehadiran Ilona si bintang porno bukan karena kepornoannya yang disoal, tapi sebuah keyakinan bahwa representasi rakyat tak mesti harus seorang yang mahir berdoa dan beritual, tapi dapat menghadirkan nuansa baru seiring perubahan zaman, apalagi melesat pemeo baru ketika itu bahwa tak ada orang suci di pentas politik. Permainan yang diperlukan di pentas politik adalah bagaimana mereka merepresentasikan rakyat tanpa basa-basi.

Di Mesir, rumah bisnis hiburan terbesar di dunia Arab, penyanyi dan bintang pop bukanlah hal yang aneh dalam politik. Dan di Turki, kita kenal anggota parlemen Ediz Hun dari partai tanah air (Anap), seorang mantan aktor Turki, yang piawai berpoktol bambu di parlemen.

Di negeri ini, siapa yang tidak kenal si Oneng Rieke Dyah Pitaloka. Dia seorang kader PDIP yang luarbiasa. Boleh jadi sekarang ini Oneng hanya manggung di parlemen, tapi ke depannya kader PDIP satu ini yang sudah bergelar doktor dengan spesialisasi komunikasi dari kampusnya UI, setelah sebelumnya menggeluti bidang filsafat, bakal menterinya Ganjar Pranowo kalaulah PDIP menang dalam Pilpres 2024 yad.

Nama Achmad Dhani dan Giring Ganesha, siapa yang tak kenal. Dhani Dedengkot Dewa 19 dan Giring dedengkot Nidji. Keduanya punya kharisma khusus di dunia musik. Lagu-lagu rock dan pop kreatif yang mereka gelundungkan selalu ngehits, dan cukup banyak di antaranya yang menjadi ladang duit, sekalipun mereka sudah tidak lagi beraktivitas penuh disitu.

Once rekan se-band Dhani sempat adu mulut dengan Dhani karena masalah royalty dari lagu-lagu ciptaan Achmad Dhani yang dinyanyikannya diluar sepengetahuan Dhani. Nidji tidak selama Achmad Dhani dkk berkiprah di dunia musik, tapi semua orang tahu gaya bernyanyi dan gaya panggung Giring mempunyai magnitudo khusus. Tak heran nama-nama tsb di atas banyak fansnya di negeri ini.

Banyaknya fans dan bagaimana kharisma mereka di hadapan publik tak perlu diragukan. Ketika diusung jadi caleg, dijamin halal mereka akan terlihat bagus, dapat menarik massa sebanyak-banyaknya. Apalagi, mereka sudah terlatih berbicara di depan kamera, dikagumi dan menampilkan pesona khusus. Ketrampilan di depan kamera adalah hal penting bagi caleg, dan ketrampilan semacam ini tak sepenuhnya dimiliki caleg-caleg non artis.

Artis yang jadi caleg dan berlaga di medan pemilu biasanya memulai balapan politik dengan awal yang luarbiasa atas saingan mereka. Nama mereka ibarat merk instan sekarang ini seperti Sari Roti, Indomie, Starbucks dll. Mereka lebih cepat melesat ketimbang caleg biasa non-artis yang bekerja keras untuk pengenalan namanya, yang tentu membutuhkan banyak waktu dan uang.

Dengan meningkatnya birokratisasi kehidupan modern, kekuatan karismatik dipandang sebagai satu-satunya cara untuk keluar dari sangkar besi rasionalitas birokrasi dalam proses differensiasi masyarakat kita sekarang

Dalam pemilu yang diwarnai ketidakpastian, dimana tidak ada jaminan pemimpin yang baik, logika substantif dalam mengusung calon-calon wakil rakyat ini ya artis-artis inilah yang termudah karena kharisma keartisan mereka.

Tentu saja bintang-bintang yang melepaskan kostum keartisan mereka untuk dan atas nama kompetisi politik, akan memiliki rekam jejak yang beragam. Reagan misalnya, dianggap sukses, yang akan dikenang karena politiknya ketimbang peran aktingnya ketika masih di Hollywood.

Namun di India, Amitabh Bachchan, bintang terbesar Bollywood terbukti gagal. Terpilih menjadi anggota parlemen pada 1980-an, aktor paling populer Bollywood ini tidak dapat menyelesaikan masa jabatan lima tahunnya karena tuduhan korupsi yang tiada henti.

Perjalanan seorang artis yang dipuja ketika menjadi politisi dan berujung dicemooh secara luas ketika gagal mewujudkan visinya, bisa sangat fatal. Contoh lainnya Presiden Estrada di akhir kekuasaannya yang tetap digencet habis rakyat Filipina karena korupsi yang merajalela pada masanya, nggak Estrada nggak anggota regime-nya.

Kaderisasi dan sistem demokrasi pancasila

Bermain di film dan musik, itu hanyalah stage act dan acting. Tapi dalam perpolitikan, itu kehidupan nyata, dimana kehadiran para artis ntah dari cabang apapun di panggung politik yang tak bisa dihindarkan itu seyogyanya dimix dengan para politisi non-artis. Ibarat gado-gado, setelah diracik dengan piawai oleh seorang chef cook, rasanya pasti sangat oke dan bakal disukai orang banyak.

Kebersinaran mereka selaku artis ntah musik, film, pegiat sosial dll, itu adalah modal dasar yang sangat diperlukan oleh parpol-parpol sekarang.

Sepertinya model kaderisasi seperti itulah yang seharusnya dijalankan parpol kita sekarang ketimbang mensetting para buzzers politik bermain kayu.

Semua parpol perlu memasarkan dagangannya. Para artis sebagaimana halnya patron-patron utama di negeri ini seperti Jokowi, Megawati, Prabowo, Luhut, Ganjar dst akan membawa katakanlah "tailcoat effect" atau efek ekor jas atau magnitudo yang dapat memperpanjang dan/atau memperluas massa pemilih di belakangnya, dan ini tentu sangat menguntungkan parpol yang mengusung artis bersangkutan.

Dalam perjalanan waktu, sistem politik di negeri ini juga semakin memastikan bahwa sistem politik demokrasi pancasila tak sama dengan sistem politik lainnya di dunia ini. Bukannya sok beda. Demokrasi dengan jatidiri Indonesia sudah semakin mengemuka, misalnya tak mengenal oposisi, tak mengenal sistem parlementer tapi presidential yang bermulti partai tanpa harus menyederhanakannya sekuat tenaga, tapi percaya alam demokrasi akan menseleksinya sendiri, dimana kita mengenal presidential threshold dan parliamentary threshold, sehingga sangat-sangat pasti rakyat sendirilah yang akan menyederhanakan partai.

Sistem Demokrasi Pancasila adalah sebuah sistem politik dengan 3 komponen utama, yi eksekutif, legislatif dan judikatif. Ketiganya interconnected satu sama lain, termasuk dengan publik melalui berbagai media seperti pers dan berbagai media sosial, bahkan page book seorang figur ntah itu pejabat tinggi negara, tokoh masyarakat dan the ordinary people.

Yang diperlukan dalam sistem demokrasi pancasila adalah perkawanan, persaudaraan dan pengawasan bersama terhadap jalannya kekuasaan. Silakan berkoalisi dalam konteks perkawanan dan persaudaraan. Silakan mengawasi kekuasaan sekeras-kerasnya sampai menthoq ke voting misalnya, karena kita sekarang tidak mengenal lagi bahwa hasil musyawarah mufakat itu harus bulat dan tidak boleh lonjong seperti di zaman orba. Persamaan yang diperlukan disini dan dipastikan tidak lagi abu-abu dalam mengambil keputusan adalah begitu mekanisme lobby gagal, ya voting dan voting. Itulah demokrasi kita sekarang.

Politik adalah seni lembut untuk mendapatkan suara dari orang miskin dan dana kampanye dari orang kaya, dengan berjanji untuk melindungi satu sama lain kata Oscar Ameringer.

Maka wahai Dhani, Giring dkk: ngerocklah dengan slow rock atau actinglah dengan gaya Christine Hakim dalam Cut Nyak Dhien, tapi dengarlah selalu melancholi blues dari si miskin dalam rangka mewujudkan the vision of the nation's glory dan the dignity of mankind.

Joyogrand, Malang, Wed', May 17, 2023.

Ilustrasi dunia politik  ayang akan berteka-teki terus. Foto : liputan6.com
Ilustrasi dunia politik  ayang akan berteka-teki terus. Foto : liputan6.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun