Artis Dalam Demokrasi Kita Now
Fenomena para artis nyaleg sekarang ini dalam rangka pemilu serentak 2024. Itu bukan hal yang luar biasa. Di luar negeri pun seperti itu, bahkan pernah Ilona Staller bintang porno Italy nyaleg dan ternyata lolos. Di AS jangan ditanya, lihat Ronald Reagan mantan bintang Hollywood yang begitu fenomenal ketika jadi AS 1, Arnold Schwarzenegger, Shirley Temple dst. Filipina tetangga terdekat kita, seorang Joseph Ejercito Estrada mantan aktor pernah jadi presiden Filipina dari 1998-2001.
Di zona publik kita. Begitu Ketum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Giring Ganesha, mendaftarkan 580 nama bacaleg ke KPU RI, Jakarta Pusat, Minggu 14 Mei ybl, publik sedikit heboh. Sebab dari 580 daftar nama bacaleg tsb, Giring mendaftarkan dirinya sendiri, termasuk musisi Mongol Stres, Dosen dan Pegiat sosial Ade Armando hingga Badai mantan kibordis Kerispatih. Lha koq para artis.
Tidak hanya PSI, tapi artis serupa itu juga kita jumpai dicalegkan partai lainnya seperti Melly Goeslaw, Once, Achmad Dhani Dewa 19 bersama kedua anaknya, Taufik Hidayat, Ari Sihasale dll di Gerindra; ada eks musisi Kangen Band di Demokrat; ada Aldi Taher di Perindo; ada Tommy Kurniawan dan Norman Kamaru di PKB; ada Eko Patrio, Opie Kumis dan Astrid Uya di PAN. Dan daftar ini akan terus menggelinding di lantai politik Indonesia sepanjang pendaftaran di KPU belum ditutup sesuai jadwal.
Apakah fenomena ini akan memudahkan kita untuk mengatakan bahwa proses kaderasi di kepartaian kita gagal total. Atau dibalik yang lebih mudah sedikit, apa artis-artis ini takut kelaparan di hari tuanya karena kebelumberesan masa depan keartisan di negeri ini. Atau yang sedikit nyeleneh, apa ini hanya menggambarkan betapa katroknya anak bangsa ini dalam berpolitik, sampai artis-artis yang tak ngerti tentang definisi "exercise of power" saja harus digiring ke arena pemilu.
Bisa, bisa, semuanya itu bisa-bisa saja. Karena sudut pandang dalam alam demokratis akan selalu prismatik atau terdifferensiasi seperti itu, jangan dihalang-halangi, except kitorang (kita orang) yang sudah tahu bagaimana teknik menapisnya agar jernih kembali bagaimana menyikapinya. Bukan soal what next, tapi what should we do dengan realitas politik sekarang dimana tetiba artis anak negeri berbaris kuda lumping didaftarkan sebagai caleg ke KPU.
Keartisan dalam politik
Negeri asal musik ndangdut India via Bollywood juga telah menghasilkan sejumlah politisi yang berasal-usul artis. Para artis India yang kemudian menjadi politisi ini sangat mahir memainkan perannya di teater politik India. Mitologi India yang banyak dewa-dewinya itu sangat mendukung keberadaan mereka di pentas politik. Sebagaimana lakon mereka di layar lebar seakan dewa-dewi Hindu yang menghanyutkan publik, itulah pesona mereka dalam mempertahankan bahkan memperluas fansnya di panggung politik India.
Bergeser ke benua biru Eropa, pada tahun 1987, Ilona Staller, mantan bintang porno Italy terpilih menjadi anggota parlemen. Yang mengecam Ilona hanya seupil orang saja, tapi mayoritas masyarakat mendukungnya, terutama kaum pria yang mengagumi keseksongan Ilona Staller. Kita mau bilang apa, sekalipun Teokrasi Katholik berpusat di Vatikan, Roma, Italy, itu tak menggugurkan si seksong Ilona menjadi anggota parlemen.
Kehadiran Ilona si bintang porno bukan karena kepornoannya yang disoal, tapi sebuah keyakinan bahwa representasi rakyat tak mesti harus seorang yang mahir berdoa dan beritual, tapi dapat menghadirkan nuansa baru seiring perubahan zaman, apalagi melesat pemeo baru ketika itu bahwa tak ada orang suci di pentas politik. Permainan yang diperlukan di pentas politik adalah bagaimana mereka merepresentasikan rakyat tanpa basa-basi.