Jakarta Tetaplah Tempat Ideal Mengadu Nasib Bagi Anak Bangsa
Jakarta pada awal 1970-an disebut sineas Wim Umboh sebagai kampung besar, kini sudah berubah menjadi kota megapolitan yang berpenduduk di atas 5 juta orang. Persisnya jumlah penduduk Jakarta sekarang adalah 11,2 juta jiwa (world population review, maret 2023).
Chrisye dalam lagunya yang melegenda, yi "Anak Jalanan" yang dirilis pada 1978 - ditahbiskan sebagai lagu terbaik Indonesia - telah menyadarkan kita bagaimana implikasi perkembangan Jakarta saat itu. Meski masih berstatus kota metropolitan dengan penduduk di bawah 5 juta, kita sungguh terkejut karena pergeseran nilai di kalangan anak muda ketika itu cukup dahsyat. Mereka menjadi anak jalanan kota metropolitan Jakarta sebagai korban ritual zaman di mana ortunya adalah budak kesibukan yang tak pernah ingat keluarga di rumahnya masing-masing.
Bisa saja Jakarta bukan lagi ibukota RI tmt akhir 2024 yad, tapi perkembangan Jakarta ditarik dari zaman Wim Umboh awal 1970-an, zaman Chrisye akhir 1970-an, hingga di masa now, takkan memutuskannya berkembang menjadi kota dunia seperti Tokyo yang menurut Databoks sekarang berpenduduk 37,3 juta dan New York menurut zippboxx sekarang berpenduduk 20,2 juta. Pendeknya Jakarta akan terus berpacu menjadi kota dunia dengan segala infrastruktur pendukung yang diperlukan di dalamnya.
Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono belum lama ini menyoroti peningkatan angka perpindahan penduduk berpenghasilan rendah ke ibukota, dimana ia mengungkapkan keprihatinannya bahwa kondisi itu dapat membebani APBD DKI Jakarta. Tapi keprihatinan itu harus dibedakan dengan kenyataan mengapa Jakarta tetap sebagai tempat ideal bagi anak bangsa untuk mengadu nasib dan/atau peruntungannya disini. Yang perlu disadari adalah "slum area" atau kantong-kantong miskin di Jakarta pastilah akan terus bertambah sejauh para pendatang dibiarkan begitu saja diseleksi alam.
Keluhan Heru justeru menjadi tak wajar kalau dilihat kota megapolitan Jakarta masih jauh dari sepadat Tokyo atau New York. Jakarta masih sangat lebar bagi siapapun anak bangsa yang akan mengadu nasib disini. Dengan kata lain diperlukan kreatifitas khusus untuk kota megapolitan ini agar dapat menampung para pendatang baru. Kalau asal berbenah tanpa mengantisipasi Jakarta suatu ketika akan berpenduduk di atas 20 juta sebagaimana Tokyo dan New York, maka yang terjadi adalah keamburadulan dan keluhan tiada henti. Jakarta tidak bisa dibenahi dengan pokrol politis, Jakarta hanya bisa dibenahi dengan terapi teknis semata.
Leverage effect atau efek dongkrak urbanisasi yang mengkhusus mengapa harus ke Jakarta adalah kemiskinan di daerah asal. Kebanyakan anak bangsa ini miskin di daerah asalnya bukan karena kekurangan sda. Mereka miskin karena sejak Orba pembangunan yang dilakukan bersifat sentralistik. Semuanya terkonsentrasi di Jakarta dan pulau Jawa. Tak heran pembangunan infrastruktur fisik dan pengembangan sda dan sdm di daerah berjalan seperti siput dengan berbagai apologi mengapa begitu, sehingga tidak mendukung perekonomian rakyat.
Teringat seorang kolega di Pangaribuan, Toba, Sumatera utara, yang mengatakan berapapun tenaga dan waktu yang kita hamburkan disini, tetap saja sia-sia karena hasil agro kita ntah itu jeruk, nenas unggul, bahkan kopi nyaris tak ada harganya. Kalau kita bawa sampai ke kota Medan, bahkan separuh jalan sampai Siantar saja, betapa mahalnya beaya transportasi untuk itu ,karena buruknya perhubungan darat. Mau berapa komoditas itu harus kami jual disana, dan itupun belum tentu laku, demikian pendapatnya.
Kalaupun pemda setempat dituntut harus menyiapkan semacam bengkel kerja bagi para calon migran. Ibarat kata pengantar sebuah buku, itu saja sudah kekurangan motivasi, sebab APBD setempat murni dari perimbangan keuangan pusat dan daerah, dimana si miskin dibantu si kaya yang berPAD baik dan ber-sda melimpah, dan bantuan stimulans dari pemerintah pusat. Tak heran bengkel kerja dimaksud hanya sekadar balai pelatihan tenaga kerja ala kadarnya yang tak banyak prodinya. Hanya itulah kemampuan pemda setempat. "Small is beautiful" pernah digaungkan, kalau hanya ada batu mulailah dari batu itu digarap kreatif agar menjadi duit, katanya. Ya ampun, ini juga tak beresonansi. Menggalikembangkan PAD? Boro-boro. Retribusi apa yang mau ditarik dari warga kota Tarutung misalnya, apalagilah di kecamatan, karena sikon yang tak kondusif sebagaimana telah disinggung di muka.
Tidaklah mengherankan kalau kaum marginal asal pedalaman Toba ini datang secara bergelombang ke Jakarta. Demikian juga gelombang migran dari daerah-daerah lannya seperti Sulawesi, Maluku, Kalimantan dll, bahkan yang terdekat migran dari pulau Madura pun datang bergelombang ke Jakarta.