Kemiskinan Eksistensial Dalam Ritual dan Liturgi Kapitalisme Global
Baru saja kita mendengar kabar buruk bahwa seorang anak pejabat pajak terlibat kekerasan, dan ini kemudian menjadi viral setelah diketahui bahwa ortu anak itu ternyata milyarder atau Mr puluhan milyar di Depkeu, sementara ybs adalah PNS berjabatan rendah. Koq bisa. Itu bukan persoalan. Lihat oknum serupa, yi Gayus Tambunan tempo doeloe.
Tak kalah viral, yi Bunda Corla yang kata Nikita Mirzani adalah LGBT. Keduanya sebagaimana diketahui adalah makhluk hedon yang gemar olahraga panjat sosial. Masih banyak lagi viral-viril yang tak terkatakan disini, termasuk Anies berhutang puluhan milyar kepada Bohir (dari kata Belanda bouwheer yang artinya kontraktor atau bandar) atas nama Sandi. Koq bisa. Lagi-lagi, jangan dipersoalkan. Bandar dalam perpolitikan kita lagi ngetrend sekarang ini.
Dalam bahasa filosofi, itulah kemiskinan eksistensial sejati manusia Indonesia zaman now. Keriuhan seperti dicontohkan di atas sangat banyak. Implikasinya, kita kini kehilangan kekuatan untuk merayakan sesuatu (sesuai keyakinan) dalam kemeriahan dan kegembiraan tiada tara berjumpa langsung dengan Ymk yang kita yakini dalam liturgi kita masing-masing. Apa yang kita lihat, kita jalankan seakan kesukariaan, hanyalah pseudo-liturgi semata.
Dalam sistem kapitalisme yang mendominasi kehidupan kita sekarang, meski telah dilengkapi berbagai instrumen penjinak, kapitalisme bukannya semakin jinak. Ia telah menjadi agama yang dihasilkan oleh serangkaian hal tak biasa. Lihatlah dalam liturgi umum atau negara maupun liturgi khusus menurut keyakinan kita masing-masing.
Kita tidak hanya tak tahu apa itu perayaan dalam keyakinan kita, tetapi liturgi yang kita bangun dalam keyakinan khusus (agama) dan umum (negara) sesungguhnya adalah festival semu yang murah, "ritual palsu" yang terkontaminasi oleh komersialisme atau diinformasikan oleh orang-orang yang terkubur oleh keinginan untuk melakukan kekerasan atau untuk pasifikasi hedonik. Ritual komunal semacam ini, tanpa obyek pemujaan otentik, mewajibkan ketimbang membebaskan jiwa dan imajinasi kita dari terjangan sang Dionysus yang super serakah.
Liburan buatan diciptakan oleh penjual budaya dan diumpankan ke publik melalui simbol-simbol yang tidak lagi membawa muatan simbolis yang berarti. Dengan tergesa-gesa dengan kejenuhan layar kaca dan keintiman dunia maya, kita telah sampai pada realisme kapitalis dimana keyakinan telah runtuh pada tingkat elaborasi ritual atau simbolis, dan yang tersisa hanyalah penonton-konsumen berjalan dengan susah-payah, melalui reruntuhan dan relik atau benda-benda penting keyakinan kita di masa lalu.
Kapitalisme masa kini telah menjadi agama yang dihasilkan oleh serangkaian hal tak biasa dan mencakup semua liturgi umum atau apa yang kita lakukan bagi publik dan apa yang telah tergeneralisasi dalam publik.
Semuanya itu kini dienkapsulasi atau dirangkum dengan satu istilah yi "neoliberalisme", liturgi kapitalisme modern yang adalah tampilan baru dari devosi (semangat keagamaan atau kesalehan lama). Kesetiaan direkapitulasi untuk mammon (dunia materi) dan kita seakan nyaman, tapi letih-lesu, karena makan lotus atau penganan hedonik yang sesungguhnya tak bergizi.
Kisah Anies berhutang puluhan milyar demi dan atas nama politik, David anak petinggi terbawah pajak di Depkeu yang gemar pamer otot dan kekayaan hedon, Mirzani dan Corla yang tengah berpacu sengit memanjat tebing sosial. Itu semua adalah "tragikomik" (memanifestasikan aspek tragis dan komikal).