Wahai Kota Malang Telisiklah Kembali RTRW Kota Sebelum Kelancungan
Kota-kota berukuran medium yang sekarang berkembang pesat menuju kota metropolitan di pulau Jawa ini sudah tak terhitung lagi, bahkan yang tadinya kecamatan seperti Cicurug, Cibadak dan Pelabuan Ratu di Sukabumi, Kepanjen dan Singosari di Malang, boleh jadi beberapa saat lagi sudah bisa ditetapkan sebagai kota administratif yang nantinya akan beralihrupa menjadi kota otonom sebagaimana halnya kota Malang, kota Sukabumi dan kota Batu sekarang.
Dinamika perkotaan zaman now tak bisa lagi dibayangkan seperti dinamika di masa lalu, katakanlah zaman Orba, apalagi zaman Orla. Pertumbuhan ekonomi di masa kini senantiasa sejalan dengan perkembangan demografi. Ketika hujan rejeki ekonomi menyiram kalangan pekerja di sektor formal maupun informal, cipratan ekonomi itu memotivasi mereka beramai-ramai mengawinkan anaknya. Itulah musim perkawinan. Punya anak 5-6 orang masih ada dalam kamus demografi. Tapi di masa transisi demografi sekarang, apa yang kita lihat di lapangan sudah berjalan seperti di Jepang, Korea selatan dan Taiwan, dimana mitos banyak anak banyak rejeki tidak lagi berlaku. Kita lihat pasangan muda sekarang mulai memasang neraca keluarga paling banyak punya anak 2, bahkan anak semata wayang pun tak masalah, termasuk mereka yang sudah menanggalkan keinginan kodratinya untuk berumahtangga. Masalahnya bukan resesi sex, tapi masalah tekanan demografis terhadap perekonomian nasional yang berimplikasi seperti itu.
Populasi Indonesia sekarang kl 275,77 juta jiwa hingga pertengahan 2022. Jumlah itu naik 1,13% jika dibandingkan periode yang sama tahun 2021 (lih databoks dari katadata.co.id). Sementara Malang raya yang mencakup 2 kota otonom dan 33 kecamatan berpopulasi kl 2.654.448 jiwa (lih BPS Kabupaten Malang).
Kota Malang sendiri pada perempat terakhir 2020 berpopulasi kl 843.810 jiwa. Dalam jangka waktu 10 tahun sejak SP 2010, jumlah penduduk kota Malang mengalami penambahan sekitar 23.567 jiwa (lih kominfo.jatimprov.go.id). Penduduk sebesar itu bermukim di kota yang luasnya hanya 110,1 Km2. Itu artinya densitas penduduk kota Malang kl 7.664 jiwa per Km2.
Saya pikir kota Sukabumi pun dipastikan akan sepesat ini perkembangan demografinya. Belum lagi kalau kita membahas kota-kota serupa lainnya seperti Depok, Tangerang, Bekasi, Cirebon, Tegal, Brebes, Pacitan, Mojokerto, Magetan dst.
Implikasi dari perkembangan demografi ini ya banyak. Pelayanan Masyarakat ntah itu listrik, air minum, kesehatan, pendidikan, perdagangan, kepariwisataan dll. Dan yang paling bertanggungjawab dari semuanya itu adalah bagaimana RTRW kota tsb dirancang, apakah ketika dibuat sekian puluh tahun yang lalu sudah diproyeksikan bakal berlaku 100 tahun ke depan dengan segala implikasi yang ada di dalamnya. Misalnya jalanan yang menghubungkan semua penjuru kota, dan bagaimana ketika terjadi perluasan wilayah kota, yang tadinya desa otonom bagian dari kabupaten menjadi sebuah kelurahan kota, seperti halnya desa Merjosari yang kini menjadi Kelurahan Merjosari, atau yang tadinya bagian dari kabupaten menjadi wilayah kota seperti situs Watu Gong di Merjosari sekarang yang tadinya adalah bagian dari Kecamatan Dau Kabupaten Malang.
Dalam perekonomian ada "The Invisible Hand" yang mengatur equilibrium ekonomi kota. Di kota Malang misalnya tak mungkin orang sekarang ini menjajakan mie ayam di bawah 8 ribu perak, atau nasi padang di bawah 15 ribu. Itu bunuh diri namanya. Malang memang kota pendidikan, kuliner harus murmer tapi kenyang, urusan belakangan. Harga minimal tsb tentu range terbawah dari fluktuasi harga bergantung kondisi perekonomian kota. Range tertinggi pastilah ada. Cobalah Mie Ayam Pasar Besar yang 20 ribuan per porsi, atau Mie Ayam Gang Jangkrik yang 50-75 ribuan per porsi. Kuliner klas elite ini hanya dikonsumsi kalangan tertentu, ntah para pelancong atau kaum Ibu yang ingin melepas dahaganya terhadap makanan yang sedikit elite-lah.