Mengenal Batu dan Potensi Kepariwisataannya
Batu terbaca dan terdengar sangat familiar di telinga kita, sekaligus lucu. Lha koq dinamakan Batu? Mbok jangan sekeras dan sekasar Batu dong. Kenapa nggak yang halus dan chantique seperti Ken Dedes misalnya atau Roro Mendut dan Pranacitra. Oalah.
Menurut folklore setempat, wilayah yang kini disebut Batu itu, dulu sekali dikenal sebagai tempat peristirahatan keluarga Kerajaan Medang pada abad ke-10. Itu artinya lebih muda dari prasasti Dinoyo pada abad 9 masehi - yang juga masih didominasi oleh folklore dan sedikit hasil penggalian arkeologis - yang menyebut Kanjuruhan sebagai kerajaan tertua di Jawa yang berpusat di Malang.Â
Tapi herannya dalam folklore Malang raya tak ada hubungan kesejarahan antara Medang dan Kanjuruhan. Ini harus ditelusuri lebih jauh kalau tak ingin tenggelam terus dalam dunia folklore.
Berdasarkan folklore setempat, sebutan kota Batu berasal dari nama seorang ulama pengikut Pangeran Diponegoro yang akrab disapa Mbah Wastu. Adalah kebiasaan masyarakat Jawa, sering mempersingkat nama seseorang dengan nama yang akrab dengan telinganya. Alhasil Mbah Wastu disingkat menjadi Mbah Tu, Mbatu atau Batu. Nama tsb kemudian digunakan untuk kota dingin yang kesohor dengan kepariwisataan alamnya ini.
Tapi what's in a name, sebab dalam kepariwisataan yang terpenting adalah potensi alamnya, termasuk budaya.
Batu, mempunyai keduanya, except budaya tempo doeloe yang kebanyakan adalah folklore setempat yang tentu indah dalam arti sastera, tapi tidak dalam arti bisa diperagakan dan dijual sebagaimana tari kecak di Bali, tor-tor atau tari katakanlah tor tor somba debata raja di Toba, tari perang di Sumba dst.Â
Kalaupun ada obyek wisata budaya di Batu. Itu tentu kreasi masa kini yang n'jawani diracik dari kebiasaan masyarakat di seputar Malang raya, ntah itu berkesenian seperti pembuatan topeng Malang, pementasan wayang orang, kerajinan gerabah, ntah itu ruwatan lingkungan. Apalagi Batu adalah satelit kota Malang, meski sudah menjadi daerah otonom beberapa dekade ini.