Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menimbang Pemilu Serentak dan Sistem Presidential Sekarang

22 November 2022   17:17 Diperbarui: 24 November 2022   11:17 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Parsindo (Partai Swara Rakyat Indonesia) digugurkan KPU belum lama ini karena tak memenuhi syarat administratif setelah sebelumnya Partai Republiku juga digugurkan dengan alasan serupa. Keduanya akan menggugat balik KPU. Silakan, respon KPU dengan tenang.

Kita jadi teringat di awal reformasi betapa Parpol yang mendaftar ikut pemilu berabrek-abrek. Yang luarbiasa mereka bisa membuat logo dan visi misi partai dengan visi dan misi yang bisa terbalik, bisa lurus dan bisa mirip-mirip delusi.

Dalam perjalanan waktu, parpol yang seabrek-abrek itu kemudian terkikis. Tapi keterkikisan itu tak menyurutkan langkah parpol yang terpaksa tiarap itu untuk bangun kembali. Seperti katakanlah PBB (Partai Bulan Bintang) yang ditokohi Yusril Ihza Mahendra yang pernah jadi Menkumham di zaman Esbeye. 

Dalam pemilu serentak 2024 PBB sepertinya akan majut lagi, juga beberapa yang serupa seperti partainya Tommi Soeharto dan partai-partai yang didirikan oleh loyalis-loyalis Soeharto.

Sedangkan yang baru seperti Gelora yang digawangi Fahri Hamzah dan dibochiri sekelompok orang yang sengaja dibuat "hidden" kini sudah tegak-berdiri. 

Ketum Gelora adalah Anis Matta dan Fachri adalah Waketum yang tampaknya sudah piawai untuk membidani Gelora di pentas nasional kita. Hanya tinggal bagaimana agar term gelora dapat bergelora di hati para voters tentunya. 

Begitu juga dengan PSI yang tak memenuhi threshold secara nasional, tapi bersuara meski tak banyak di sejumlah DPRD seperti DKI Jakarta. Sepertinya PSI akan majut lagi dalam pemilu serentak 2024. 

Begitu juga dengan PB atau Partai Buruhnya alm Muchtar Pakpahan. Meski PB sudah bolak-balik tiarap, tapi PB sepertinya majut lagi dalam pemilu serentak 2024.

Intinya 9 parpol non-parlemen sudah lolos seperti PSI, Perindo, PKN (Partai Kebangkitan Nusantara), Gelora, PBB, Hanura, Ummat, Buruh dan Garuda. 

Dan ke-9 parpol ini akan berkompetisi dengan 9 parpol parlemen yang masih bercokol sampai sekarang seperti PDIP, Gerindra, Golkar, Nasdem, Demokrat, PKB, PKS, PAN dan PPP.

Angka ini kemungkinan masih bisa bertambah sejauh parpol yang keberatan dapat menang melawan keputusan KPU, sebab pendaftaran sudah usai 14 Agustus 2022 lalu. 

Total sebanyak 40 parpol sudah mendaftar dan hanya 9 yang berhasil lolos, sementara parpol parlemen tak perlu lagi diverifikasi sesuai ketentuan. Tapi akan tahu rasa begitu terkapar KO dalam pemilu serentak 2024 yad.

Syarat parpol ikut pemilu

Persyaratan parpol bisa mengikuti pemilu tercantum dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Syarat-syarat tsb menurut pasal 173 UU 7/2017 adalah berstatus badan hukum, sesuai dengan UU memiliki kepengurusan di seluruh propinsi; memiliki kepengurusan di 75 persen, jumlah kabupaten/kota di propinsi ybs; memiliki kepengurusan di 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota ybs; 

menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat; memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk pada kepengurusan parpol.

Nantinya, itu dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilu; mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar parpol kepada KPU; menyertakan nomor rekening dana kampanye pemilu atas nama parpol kepada KPU.

Syaratnya terasa berat memang, Tapi itulah evolusi peraturan pemilu di Indonesia. Semua aturan harus disesuaikan dengan dinamika zaman.

Misalnya aturan tentang gender yang menyaratkan 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat. So, kalau ada yang gugur dari verrifikasi administratif. Ya jelas bukan salah bunda mengandung, tapi salah e dewe.

Parliamentary threshold

Rumah Pemilu 2024. Foto : rumahpemilu.org
Rumah Pemilu 2024. Foto : rumahpemilu.org

Kompetisi parpol ke depan ini semakin ketat dengan diberlakukannya parliamentary threshold sebesar 4 persen.

Aturan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold pertamakali diterapkan pada pemilu 2009. Saat itu ditetapkan syarat sebuah parpol bisa mendapatkan kursi di DPR memperoleh suara sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara nasional.

Lihat pasal 202 UU No 10 tahun 2008. Sedangkan aturan ambang batas parlemen pada 2009 belum berlaku untuk kursi DPRD propinsi dan kabupaten/kota.

Pemerintah kemudian memberlakukan ambang batas parlemen dalam pemilu 2014. Saat itu ditetapkan pasal 208 UU No 8 tahun 2012 yang mematok batas perolehan suara lebih tinggi, yakni 3,5% dari jumlah suara nasional, sebagai syarat bagi sebuah parpol bisa memperoleh kursi di DPR.

Peraturan ambang batas parlemen pada pemilu 2014 mulai diterapkan untuk DPR, DPRD propinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Namun kemudian MK memutuskan parliamentary threshold sebesar 3,5% tidak berlaku secara nasional dan hanya berlaku untuk DPR saja.

Aturan ini juga diberlakukan pada pemilu 2019, dan tercantum dalam pasal 414 dan 415 UU No 7 tahun 2017. Dalam UU itu ditetapkan sebuah parpol harus memperoleh suara sekurang-kurangnya 4% dari jumlah suara nasional untuk bsa memperoleh kursi di DPR.

Aturan itu berlaku secara nasional, sehingga partai yang lolos ambang batas parlemen nasional secara otomatis lolos masuk parlemen daerah. Sedangkan partai yang tidak lolos ambang batas parlemen nasional, tidak lolos untuk DPRD kabupaten/kota.

Presidential threshold

Presidential threshold adalah ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh parpol dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan capres. Ini menjadi syarat bagi seseorang untuk dapat mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres dalam pemilu.

Dari pemilu ke pemilu, ambang batas pencapresan dan pencawapresan berubah-ubah. Indonesia pertamakali merumuskannya dalam UU No 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 5 ayat 4 UU itu menyatakan pasangan capres dan cawapres hanya dapat diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% jumlah kursi DPR atau 20% dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.

Ketentuan ambang batas itu pertamakali diterapkan dalam pemilu 2004, bertepatan dengan pertamakalinya Indonesia melaksanakan pilpres secara langsung. 5 tahun setelahnya atau pada pilpres 2009, besaran presidential threshold berubah. Hal ini diikuti dengan berubahnya UU Pemilu.

Saat itu pasangan Capres dan Cawapres dapat diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang memiliki sekurang-kurangnya 25% kursi di DPR atau 20% suara sah nasional dalam pemilu legislatif (lihat UU No 42 tahun 2008).

Dengan ketentuan tsb, ada tiga pasangan capres dan cawapres, yi Mega-Prabowo, Esbeye-Boediono dan Jusuf Kalla-Wiranto. Esbeye-Boediono keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara 60,80%.

Adapun pada Pilpres 2014, besaran presidential threshold tak berubah. Pilpres 2014 tetap mengacu pada UU No 42 tahun 2008. 

Dengan acuan tsb pasangan capres dan cawapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang memiliki sekurang-kurangnya 25% kursi di DPR atau 20% suara sah nasional dalam pileg. 

Ketika itu hanya ada dua pasangan capres dan cawapres yi Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta Rajasa. Jokowi-Jusuf Kalla berhasil menjadi pemenang dengan perolehan suara 53,15%, mengungguli Prabowo-Hatta yang hanya meraih suara 46,85%.

Besaran presidential threshold kembali berubah pada Pilpres 2019. Ketentuan tentang ini diatur dalam UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. 

Pasal 222 UU itu menyebutkan, pasangan calon diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol oeserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh kursi 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Pada pilpres tahun 2004, 2009 dan 2014, digunakan perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil pileg yang dilaksanakan sebelumnya sebagai presidential threshold. Pada ketiga gelaran pilpres itu, pileg dilaksanakan beberapa bulan sebelum pilpres. 

Sementara pada Pilpres 2019, ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya. Hal ini karena pelaksanaan pilpres dan pileg dilaksanakan serentak pada April 2019.

Pilpres 2019 kembali diikuti oleh 2 pasangan calon yi Joko Widodo-Maaruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno. Jokowi-Maaruf tampil sebagai pemenang dengan perolehan suara 55,50% mengalahkan Prabowo-Sandiaga Uno yang hanya mengantongi 44,50% suara.

Tak boleh lebih lama lagi berleha-leha

Membaca uraian di atas, tak pelak lagi sistem politik kita memang sudah sampai pada tahapan yang ideal bagaimanapun kontroversinya itu bagi sebagian politisi kita. 

Mereka yang berambisi untuk jadi penguasa tapi tak kuasa menggapainya kecuali memperalat sebagian publik yang kosong-melompong benaknya tentang ketatanegaraan kita, ya wajar. Maka lahirlah politik identitas dan fundamentalisme dalam berpolitik.

Tapi apabila dicermati lebih jauh tentang ambang batas ntah itu pemilu presiden dan pileg, maka kita akan menyadari betul bahwa republik ini tak boleh lebih lama lagi berleha-leha soal itu. 

Kotak suara rakitan dan petugas pemeriksa kotak suara. Foto : nasional.tempo.co
Kotak suara rakitan dan petugas pemeriksa kotak suara. Foto : nasional.tempo.co

Benar Fukuyama bahwa demokrasi adalah puncak peradaban manusia sekarang ini, tapi itu akan cenderung beroligarki apabila para penyempurna reformasi lupa bahwa keparpolan memang harus disederhanakan tanpa harus menyederhanakannya secara paksa, tapi parpol yang beraneka rupa itu akan memfusi secara alami seperti yang diseleksi oleh UU Pemilu sekarang.

Di zaman Orba kita tahu bahwa Golkar adalah anak kandung regime yang berkuasa di masa itu. Sedangkan PDI dan PPP adalah fusi dari aneka macam partai sejak masa revolusi hingga zaman Orba. 

PDI segala macam aliran sosialis, segala macam aliran nasionalis terintegrasi disitu. Sedangkan PPP adalah fusi dari segala macam partai identitas islam, mulai dari Masjumi hingga partai Hezbollah.

Kalaupun sekarang PPP didampingi PAN, PKB dan PKS, yang mungkin banyak berbeda hanyalah PKS yang banyak terinspirasi Ikhwanul Muslimin di Mesir sana. 

Sayangnya ini dimix dengan aliran ideologis Wahabi. Tak heran di zaman Esbeye dulu kita kecolongan segala macam perda-perda identitas, termasuk radikalisasi kampus. Itulah kepiawaian PKS ketika itu dalam melakukan penyusupan ke segala lini pemerintahan dan kemasyarakatan.

Tapi dengan dicabutnya izin HTI dan FPI, sterilisasi kampus dari kalangan radikal dst, maka penggunaan massa yang dibodoh-bodohi tidak lagi bisa seenak udelnya. Katakanlah penggunaan massa yang dibodoh-bodohi itu masih ada, tapi tentu tidak lagi sevulgar dulu. 

Lihat kota Depok, Sukabumi, Bogor, Cianjur dan Jabar secara keseluruhan misalnya. Wilayah ini memang sudah diPekaeskan. 

Sampai-sampai Depok dan Sukabumi tak tahu bagaimana caranya mengembangkan heritages legacy Belanda di wilayah perkotaan dalam konteks kepariwisataan, sehubungan cekokan sejarah yang tak pada tempatnya.

Kita lihat yang tetap bertahan dalam sistem politik kita adalah PDIP, Golkar, Gerindra dan PKB, sedangkan PAN, PPP, Nasdem, PKS dan Demokrat terkesan kuat semakin khawatir dengan raihan suara mereka dalam Pileg 2024 yad. 

Lihat misalnya bagaimana Nasdem langsung mengkudeta Anies untuk Capres mereka tahun 2024 yad. Dengan harapan ada tail coat effect atau efek ekor jas yang akan menciprati Nasdem. Belum tentu, karena keterjebakan Anies dalam politik identitas sebelumnya justeru itulah yang akan menghilangkan efek dimaksud.

Rakyat pemilih semakin lama semakin cerdas. AA Gym yang dulu pongah dengan poligami, ternyata ditinggalkan orang karena tahu motivasi AA semata-mata hanya sex belaka dan bukan cintakasih anak manusia. Publik terbukti lebih bersimpati kepada Teh Nini ketimbang kepada isteri muda AA Gym yang bahenol dan chantique itu. 

Begitulah halnya dengan kepartaian di negeri ini. Yang tak rasional dan mengada-ada penuh syahwat kekuasaan, itu akan sirna dengan sendirinya.

Maka presidential threshold yang berlaku sekarang itu sudah match betul dengan perkembangan politik di negeri ini. Maka biarlah PDIP tepat pada waktunya medio September yad mencapreskan Ganjar tanpa perlu berkoalisi. 

Biarkan Prabowo memilih cawapresnya sendiri ke depan ini ntah itu Cak Imin atau Sandi. Piawai menggandeng parpol lain agar threshold terpenuhi. Lha monggo dipilih yang sevisi tentu. Saya pikir dua capres itu akan lebih efektif dan efisien dalam Pilpres 2024 yad.

Sedangkan Anies? Saya khawatir, Anies dan Nasdem akan tergerus perjalanan waktu itu sendiri, seiring tergerusnya Demokrat dan PKS dari pentas nasional kita.

Indonesia now bukanlah Indonesia kemarin yang digiring identitas-identitasan yang mendegradasi kesatuan dan persatuan nasional kita. Ok.

Depok Bolanda, Tue', Nov' 22, 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun