Kelebihan zaman now apalagi kalau bukan jejaring internet yang telah mengglobal begitu. Jangan-jangan orang Eskimo yang masih tinggal di Igloo tradisionalnya sudah berjejaring juga seperti kita, kalau kita lihat bakul sayur di pojokan Garut sana sudah kirim pesan online agar dikirimin payung Tasik ke rumahnya karena besok atau lusa hujan bakal lebih deras lagi menghajarnya dalam pengembaraannya menjajakan sayur mayur ke seantero Garut.
Ipoleksosbudhankam adalah akronim lama Hankam sejak zaman Orba Soeharto. Ingat mata kuliah Kewiraan ketika anda masih berkutat menyelesaikan S1, S2 atau S3. Akronim dahsyat itu biasa digunakan Pak Dosen ke segala arah. Bakul sayur tadi akan bisa diulik lebih jauh oleh Pak Dosen dari angle Ipoleksosbudhankam, tapi tentu selalu berujung pada tannas atau ketahanan nasional. Kita lupa Mbok sayur itu just survival. Titik.
Begitulah dengan semacam tannas di negeri wakanda ini sekarang. Yang berbeda, itu kini hanya meliputi 3 aspek yang menyembul tajam, yi politik, hukum dan ekonomi. Dimana-mana orang mengukur suhu bangsa dan negara dari ketiga aspek itu. So bukan hanya pandemi Covid-19 saja yang menghasilkan mesin suhu modern yang langsung merespon begitu kita mendekat. Elit dan publik luas via medsos telah menjadi thermometer canggih semacam itu.
Politik, Hukum dan Ekonomi. Ketiganya mudah dibicarakan, dibahas, diutak-atik dari detik ke menit, hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan dst hingga tahun ke tahun, tapi jangan salah hasil bahasan gondal-gandul itu tak mudah untuk dilaksanakan betapapun kiat pilihan yang telah dikedepankan para akhli untuknya. Kita ambil contoh minyak goreng. MinyaKita sudah digelindingkan memang, tapi minyak goreng ber-HET Rp 14 ribu itu belum juga merata pendistribusiannya. Retailer medium sekelas Indomaret dan Alfamart sepertinya ogah memajangnya berdampingan dengan minyak-minyak premium yang terlihat masih rebutan tempat di rak-rak istimewanya dengan harga hohoi sampai Rp 60 ribuan per kemasan.
Di palagan Hukum. Ferdi Sambo, seorang jenderal polisi yang kini dinonaktifkan, telah menerbangkan jiwa ajudannya BrigJo dalam apa yang dinamakan pembunuhan berencana. Itu sangat mengagetkan karena tiba-tiba ada konspirasi internal, ada konspirasi eksternal. Begitu Kapolri turun tangan atas perintah Presiden, semua diam dan terhenyak ketika mendengar pernyataan Kapolri bahwa tak ada tembak-menembak, tak ada pelecehan seks. Itu hanya sebuah skenario dari sebuah drama karya Ferdi Sambo dan sang nyonya PC. Dengan kata lain, BrigJo dieksekusi Sambo dan isterinya PC. Titik. Tapi apa mau dikata dalam sebuah inkonsistensi luarbiasa locus delicti kemudian bergeser ke Magelang. Massa anak bangsa dari seluruh penjuru negeri wakanda tak urung mengubeknya juga. Kapalang selon, kata orang Bandung. Dalam kondisi Nol Besar seperti itu, kita terus bertanya-tanya akankah masalah hukum disini bisa dipastikan menurut rel hukum atau malah menjadi rel ketidakpastian hukum sebagaimana tak pastinya soal gondal-gandul pelecehan seks sebagai motif utama pembunuhan berencana tsb.
Belum reda masalah Sambo-PC-Brigjo, ee muncul malapetaka Kanjuruhan di Malang yang menelan korban ratusan jiwa. Gas Air Mata sebagai pemicu bencana kemudian berujung pada pecat-memecat komandan lapangan yang bertugas di stadion Kanjuruhan Malang. Singkatnya ada kesalahan besar protap pengamanan yang tak sesuai dengan ketentuan FIFA. Iwan bule bertanggungjawab penuh, karena tak melihat secara paripurna semua faktor di Kanjuruhan yang membuat bencana mengerikan itu terjadi. Tapi Iwan bule yang mantan Kapolda Metro Jaya itu tak mau turun. Whats the matter. Apakah benar sedang terjadi star wars di institusi kepolisian kita. Para elit dan publik luas masih mengubek-ubeknya sampai sekarang.
Dan yang terkonyol dari semua itu, setelah Kapolri bertindak menggeser Kapolda Jatim Nico Afinta, lalu mengukuhkan Teddy Minahasa sebagai Kapolda Jatim. Hanya selang beberapa hari saja, Teddy terpaksa dipecat karena terbukti memperdagangkan Narkoba hasil sitaan BNN. Teddy bahkan disebut-sebut sebagai jenderal polisi yang crazy rich. Ibarat Teddy mau dibedah kosmetik berkali-kali seperti Michael Jackson dipastikan sangat bisa. Tapi Teddy adalah Teddy anak Wakanda dan bukan Michael Jackson yang adalah anak Neverland dambaan anak-anak sedunia. Tak heran Hotman Paris yang diiming-imingi doku milyar rupiah ya ok aja jadi pengacara jenderal polisi yang crazy rich ini.
Tarian lenong berwajah sibolis atau devil sepertinya baru saja berlalu dari pentas kita dengan rambut keriap-keriapan. Perang bintangkah di kepolisian kita at now. Maklum buanyak duit berseliweran disana sejak Polri pisah dari ABRI yang kemudian menjadi TNI atas nama reformasi institusional di awal reformasi lalu.
Di palagan politik. Lihat fenomena koalisi sekarang. Meski sistem kita semua orang tahu adalah sistem presidensial, tapi para poliyo disini cenderung berkutat seolah sistem kita itu parlementer. Presidential threshold sudah ditetapkan 20%. Sejauh ini hanya PDIP yang memiliki threshold itu. Yang lainnya, paling jauh 19% seperti Gerindra misalnya. Lalu Nasdem yang sangat jauh dari threshold itu tiba-tiba mencapreskan Anies dengan akibat diNasdrunkan seperti yang nge-Drun sekarang ini.
Juga lihat, Ganjar yang bukan kader PSI langsung dicapreskan PSI tanpa kulonuwun samasekali terhadap the owner PDIP, Prabowo langsung dicapreskan Gerindra tanpa mau tahu bahwa Wowok sudah tiga kali gagal dalam kontestasi Pilpres sebelumnya.
Pemilu serentak masih jauh di ujung cakrawala sana, tapi para poliyo dengan segala parpol disitu sudah ber-euphoria tentang kekuasaan. Mereka lupa bahwa pandemi sudah memasuki tahun ketiga dan masih berlangsung hingga sekarang, meski sudah terdengar selentingan kabar bahwa Presiden Jokowi akan mengakhiri masa pandemi dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.
Politik dan berpolitik bukanlah karya intelektual berbobot di negeri wakanda ini, tapi politik dan berpolitik bagi para poliyo disini adalah soal gaming kekuasaan. Maka tak heran tetiba Anies yang bukan kader internal Nasdem langsung dicapreskan Paloh. Koalisi-koalisian pun semakin ramai dan ramai. Mereka berpikir gaming, coba gandeng sana gandeng sini. Pendeknya bagaimana membangun koalisi agar 20% threshold dimaksud dapat klop. Tapi sekaligus naif, koalisi itu atas dasar kesamaan apa dan bagaimana. Inilah sistem banci yang sama sekali tak pas dengan sistem presidential kita.
Lalu, ekonomi setelah Minyakita yang tak kunjung merakyat itu apa sudah selesai. Oh No. Bahkan muncul belum lama ini ide kompor listrik untuk mengganti kompor Elpiji yang belasan tahun lalu digelindingkan JK untuk menggantikan kompor minyak tanah yang ntah sudah raib kemana sekarang. Belum selesai bernafas dalam lumpur pada isu gelitikan asing itu, muncul lagi ide mobil listrik, sementara mobil listrik yang dulu dicoba-coba Dahlan Iskan ntah sudah raib kemana.
Kalau soal ekonomi, kita barangkali bisa kembali ke Nabi 1970-an yi Ivan Illich yang telah lama memprediksi fenomena degradatif dari modernitas. Illich adalah pemasok kebenaran yang mustahil, kebenaran yang begitu radikal yang mempertanyakan keyakinan modern kita tentang kemajuan, pertumbuhan ekonomi, kesehatan dan pendidikan dan mobilitas.
Orang-orang adalah makhluk relasional yang tertanam dalam matriks kosmos alam. Kita berangkat dari masa lalu dengan mengutamakan peran manusia di alam semesta sebagai yang teratas dan terpisah dari semua makhluk lainnya. Kita pun secara efektif menyatakan "kematian alam", mengubahnya menjadi sumberdaya untuk memberi makan "pleonexia" atau keserakahan radikal yang memicu pembangunan dan kemajuan, yang mengubah keinginan menjadi kebutuhan tanpa akhir.
Kebangkitan teknologi sosial yang menguniversalkan institusi telah melampaui batas tradisional komunitas vernacular atau komunitas awam dengan beragam dialek dan memanfaatkan manusia ke lintasan pertumbuhan tanpa batas, menciptakan "monopoli radikal" melampaui cara dan sarana kehidupan. Itu semua menumpulkan setiap alternatif untuk industrialisasi sesuai keinginan masyarakat konsumen. Orang-orang dan komunitas kemudian kehilangan pengetahuan praktis untuk menciptakan alat yang sesuai dengan kebutuhan dan pilihan mereka sendiri. Dirampok dari kompetensi seperti itu, mereka menjadi budak bagi logika lembaga-lembaga itu alih-alih dengan cara mereka sendiri.
Pergeseran ini itu dan ono terkait perkembangan ekonomi nasional  yang terkoneksi dengan perekonomian global sekarang, menimbulkan setidaknya pertanyaan apakah kita hanya ikut-ikutan kegenitan sains modern yang dalam hal ini harus kita sadari adalah tool dari kapitalisme global yang sangat rakus itu atau karena memang sudah melakukan kajian yang mendalam bahwa kita memang perlu dan harus segera beralih ke energi listrik.
Ketika Timtim masih di bawah Indonesia, kita pernah menggelindingkan listrik pedesaan dengan teknologi Photovoltaic Surya, sebuah teknologi yang memanfaatkan efek fotoelektrik terhadap semi konduktor tertentu ketika menyerap partikel-partikel cahaya untuk menghasilkan tenaga listrik. Teknologi yang hanya dipakai sebentar tapi seakan keren itu terbuang sia-sia begitu saja tanpa tindaklanjut. Itulah proyek konyol di masa lalu atas nama PBB dan Bank Dunia.
Dalam bukunya Energy and Equity Illich mengatakan .. siapapun yang berkendera di jalan bebas hambatan, mobilitas individu berubah menjadi kemacetan kolektif ketika setiap orang memiliki mobil. Illich benar kebajikan dari kecukupan atas kemandirian sebagai jalan keluar yang hemat dari ketergesaan menuju masa  depan, tidak dapat dipertahankan. Asal tahu, kita sejak awal reformasi sudah kecebur di comberan modern itu. Setelah diangkat-angkat telor oleh Bank Dunia dan IMF.
Kompor listrik, mobil listrik dan segala macam yang dilistrik-listrikkan sepertinya menjadi tak relevan, mengingat pembangkit listrik negara sebagian besarnya masih menggunakan minyak diesel, juga kita tak yakin bagaimana dengan setasiun-setasiun charger listrik yang harus dibangun di sepanjang pulau Jawa dan pulau-pulau besar se-nusantara. Berapa banyak duit yang harus kita gelontorkan disitu, termasuk tentu bagaimana pula dengan mobil-mobil dan kenderaan roda dua bertenaga listrik yang akan kita produksi, apakah swasembada atau full impor, karena sejauh ini kita belum pernah punya mesin buatan sendiri kecuali mesin Toyota, Daihatsu dan Suzuki eks Jepang. Tak ada tuh terdengar mesin merk Cipto, merk Tobing, merk Aminah dst.
Ketiga aspek yang semakin menajam ini bukannya ruwet. Tapi dalam terminologi wong cilik, ketiga aspek yang digambarkan tsb adalah sebuah fenomena yang mempertegas bahwa kita belum sampai ke jatidiri kita yang sebenarnya. Kita masih bermain dua kaki dengan banyak keraguan disitu.
Dunia politik yang merupakan induk dari fenomena negeri wakanda ini, hanya pandai mempertontonkan kebebasan berpendapat atas nama HAM, mengidam sistem parlementer ala Inggeris, tapi tersentak begitu nggak lagi nyabu bahwa sistem kita adalah presidential. Ribut-ribut ekonomi seakan pro ekonomi liberal, tapi kemudian sadar bahwa sistem ekonomi kita sejatinya adalah sosialisme yang religious. Berteriak rule of law, kawal dan amankan jalannya pengadilan Sambo dst, sementara korupsi hukum dan kekuasaan sudah berlangsung sejak zaman feodal jauh sebelumnya, tapi tak juga terhentikan hingga saat ini, meski sudah dikawal Komisi Judicial sekalipun.
Pembusukan politik, hukum dan ekonomi itu berangkat dari moralitas para patron. Kalau patron bangsa di ketiga aspek utama itu bejat bagaimana mungkin bangsa ini akan mandiri meski hanya di ketiga aspek yang menonjol itu.
Anak bangsa di negeri wakanda ini akan terus munafik apabila kita tetap bermain dua kaki dan tidak banting setir untuk segera kembali ke jatidiri bangsa dengan mempatronasekan sejumlah leluhur kita yang berintegritas tinggi.
So, mari pulkam dan buang jauh mimpi ikut-ikutan berlistriklah, berdasi-lah, bermimikri-lah, hanya demi coat tail effect semata, yang belum tentu dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa ini.
Depok Bolanda, Mon', Oct 24, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H