Penyelesaian kemelut di sebuah organisasi profesi yang besar seperti Peradi, seyogyanya tidaklah seperti itu, tapi itulah birokrasi hukum kita sepertinya justeru menjadi perintang utama dalam menyelesaikan sengketa besar di sebuah organisasi besar seperti Peradi. Krisis itu sejak 2010. Terlihat jelas bahwa kepastian hukum di negeri ini adalah ketidakpastian hukum itu sendiri.
Berbarengan atau pasca Munas II Pekanbaru, Luhut sudah sampai ke tingkat MA, boleh jadi Juniver pun begitu ntah sudah sampai dimanapun dia. Tapi dalam pertarungan sengit tapi terselubung ini, Otto anteng saja di katakanlah Old Peradi.Â
Mengutip Hotman, disamping telah mengubah anggaran dasar dengan rapat pleno, bukan dengan munas sesuai ketentuan. Aturan yang diubah itu dikatakan boleh menjabat 3 kali asal tidak berturut-turut.
Maka Hotman langsung merujuk pada Keputusan MA dalam Keputusan No. 977/PDT/22 tgl 18 April 2022 yang menyatakan AD/ART Peradi versi Otto tidak sah, maka konsekuensi logisnya seluruh pengurus Peradi versi Otto tidak sah, demikian Hotman seraya menambahkan Otto malah KKN dengan menempatkan mantunya sebagai direktur PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat) di Peradi yang dipimpinnya.
Tak lama setelah gedoran keras Hotman Paris, Luhut Pangaribuan dikukuhkan secara hukum melalui Kemenkumham sebagai Ketua Peradi periode 2015-2020. Ini juga menjadi soal.Â
Mungkin pemilihannya sebagai Ketua Peradi yang dilakukan dengan cara online yi e-voting tidak menjadi masalah, tapi mengapa legalitasnya baru dikeluarkan sekarang. Ini bertubrukan dengan Peradi versi Otto yang bermunas di Pekanbaru pada 2015.Â
Dan kita juga bertanya-tanya kapan Luhut berkiprah dalam kepengurusan Peradi periode 2015-2020. Kalau Luhut aktif dalam kepemimpinannya mengapa tidak terbetik kabar ia menyelenggarakan munas pada 2020 lalu. Bagaimana dengan Juniver yang juga mengatasnamakan Peradi. Benar-benar Peradi dalam krisis berat, nggak Otto, nggak Fauzie, nggak Luhut dan nggak Juniver. Semua bermasalah
Fauzie memang menang dalam menggugat Luhut yang menyelenggarakan Munas secara e-voting. PN Jakpus menolak gugatan itu pada 31 Oktober 2019. Ditingkat banding, PT Jakarta memenangkan gugatan Fauzie. Luhut mengajukan kasasi dan ditolak MA.
Tapi dengan keluarnya Keputusan Dirjen AHU An Menkumham yang memastikan bahwa Luhutlah yang sah. Maka ambyar sudah Howitzer yang ditembakkan kubu Otto. Yang kurang bagi Luhut tinggal munas saja yang seharusnya telah dilakukannya tahun 2020 lalu.
Persoalan hukum harus diakui tak kunjung beres di negeri ini. Sementara komunitas ini semakin padat merayap populasinya, karena sejak zaman Belanda kita sudah mencetak lawyer seperti katakanlah Yap Tiam Hien, Muhammad Yamin dll, lalu di era orba ada Masdulhak Simatupang, Bismar Siregar, Adnan Buyung, OC Kaligis, Makarim dll dan di zaman reformasi hingga sekarang perkembangannya sudah menjadi deret ukur, mulai dari alm Moenir, Hendardi, Bambang BW, Hotman Paris, Farhat dll. Boleh jadi jumlah alumni terbesar di negeri ini adalah alumni hukum ntah dari universitas manapun itu.