Dengan sangat apa boleh buat, berefleksi kegaduhan kemarin, kita memang masih berada dalam kondisi prismatik. Dan itu belum banyak berubah sepanjang reformasi ini. Masyarakat prismatik adalah masyarakat yang belum terdiferensiasi dengan sempurna. Coba lihat matahari yang menembus sebuah kaca prisma. Masih ada cahaya dengan warna menggumpal disitu, sebelum terurai menjadi sebuah pelangi. Kita masih berada dalam gumpalan yang belum terdiferensiasi. Terbukti pendekatan keagamaan kita masih terbata-bata karena terlalu banyak tepo seliro yang tak perlu, meski kita adalah negara hukum. Misalnya masalah penistaan agama. Hukum kita belum bisa memastikan seperti apa itu penistaan agama. Karena sifat karetnya, tak heran si penista biasanya adalah anggota kaum minoritas, sedangkan anggota kaum majority yang menista bukanlah penista. Disinilah keterbataan kita. Tak heran kita melihat sosok murtadin seperti Syaifuddin Ibrahim yang kini berkoar bebas di AS, karena tak bisa mendapat keadilan soal penistaan di negerinya sendiri.
Saya juga tak mau menyalahkan UU ITE. Gegara UU ini maka ada pihak yang ragu berpendapat karena takut diancam pidana sebagaimana termaktub dalam pasal-pasalnya. Tapi faktanya kegilaan medsos sekarang sudah jauh melampaui UU ITE itu sendiri. Masalahnya keterbata-bataan kita dalam kondisi yang tetap prismatik seperti terurai di muka yang membuat kita tak mampu membuat kepastian hukum disitu.
Ade Armando dkk dan lawan-lawan perangnya di medsos? Saya yakin sekali mereka dari kedua belah pihak bukanlah penista agama dan penista demokrasi, mereka adalah intelektual yang lahir pada zamannya untuk membuka tempurung kepala dan mental bangsa ini. Yang menjadi masalah adalah ketidakmampuan pemerintah kita untuk menginput itu semua sebagai bahan olahan kebijakan publik yang mumpuni dan match dengan panggilan zaman now. Buktinya ya keterbata-bataan itu dalam memastikan hukum di negara hukum Indonesia. Itulah saya pikir dilema kita sekarang. Maka capres yad disamping merakyat seperti Jokowi, nah disini saya sefaham dengan Fahri Hamzah, haruslah seorang intelektual sejati yang paham bagaimana agar bangsa ini segera terbebas dari kondisi prismatik yang menafikan kepastian hukum itu.
Jokowi tak perlu dikasihani, karena dia cukup berhasil, hanya tinggal sedikit tahun lagi dia akan menyelesaikan kepresidenannya. Yang gila 3 periode terbukti bukan Jokowi, tapi para politisi dan sejumlah menterinya yang sontoloyo dengan segala kepentingan vested interestnya disitu.
Mahasiswa? Syukurlah, mereka sudah kembali ke kampus dan gembira ketika Jokowi meneken PP untuk THR dan gaji ke-13. Cukup banyak di antara mereka adalah putera puteri ANS dan perusahaan swasta yang harus memberikan THR sesuai ketentuan. He He ..
Joyogrand, Malang, Sat', April 16, 2022
   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H