Peluang Kopi Sigarar Utang Dalam Kepariwisataan Toba Dan Pasar Kopi Dunia
Kopi bagi mayoritas petani di Tapanuli Utara (Taput) atau Tano Batak pada umumnya adalah sumber ekonomi utama setelah padi dan haminjon (kemenyan). Tak perlu diragukan lagi bahwa tanaman kopi tumbuh dan berkembang sangat baik di Tano Batak.
Data dari BPS setempat mengungkapkan luas kebun kopi di Taput adalah 14.934,50 Ha dengan hasil 9755,25 ton per tahun. Perluasan areal perkebunan kopi dalam rangka peningkatan produksi masih terbuka lebar dengan memanfaatkan lahan tidur yang masih sangat luas di daerah ini.
Meski kontribusi kopi cukup besar terhadap PDRB setempat, pada kenyataannya tataniaga kopi belum diatur sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Apakah harga kopi di Taput ditentukan pasar? Faktanya, Tidak. Yang jelas, tengkulaklah yang paling dominan dalam perniagaan kopi di Taput dan Tano Batak pada umumnya. Merekalah yang menentukan harga kopi di Pasar. Petani kopi tak berdaya mengatasi harga oligopoli tengkulak ini. Sementara harga sarana produksi seperti pupuk, obat pembasmi hama dll tak kenal ampun. Pupuk bersubsidi? Sangat rentan terhadap manipulasi dan terbukti hanya sebagian kecil saja yang sampai ke tangan petani. Supervisi penyaluran pupuk bersubsidi dari pemerintah yang berwatak abu-abu adalah sebuah harapan yang sangat mahal di Bonapasogit (tano batak) ini.
Dalam posisi tawar yang sangat lemah seperti itu, akhirnya yang terpenting bagi petani kopi Taput adalah kopi mereka dapat terjual kepada para tengkulak, berapa pun harganya. Hanya sebagian kecil saja dari kopi rakyat di Taput yang mampir ke rumah-rumah industri rakyat. Itu pun terbatas dan pengolahannya sederhana sekali. Setelah disortir apa adanya, kopi pun dimasukkan ke alat penggorengan berupa tabung silinder yang diputar manual di atas kayu bakar. Atau lebih banyak lagi yang hanya "disaok" atau digongseng di atas wajan atau kuali. Kemudian setelah digiling halus dengan mesin portabel murahan buatan Cina, kopi rakyat itu dikemas dalam bungkus plastik mulai dari harga Rp 10.000 - Rp 30.000. Dan kemasan itu di bagian penutup cukup dipress dengan api lilin. Apa daya. Peredaran kopi rakyat tak bermerk seperti itu terbatas di daerah produksinya masing-masing. Tak ada standarisasi mutu di sini. Taste produk beranekaragam, meski jenis kopinya sama. Rasa Kopi Sipoholon akan berbeda dengan rasa Kopi Sipahutar. Rasa Kopi Pangaribuan akan berbeda dengan Kopi Siborongborong dst. Siapa yang unggul? Tidak ada. Itulah kopi rakyat rumahan.
Tata Niaga Kopi dan Letak Geografis
Melihat kenyataan bahwa kopi adalah salah satu sumber ekonomi utama di Taput setelah padi dan kemenyan, maka tantangan utama saat ini bagi siapa pun di Bonapasogit adalah menata kembali tataniaga kopi. Regulasi yang diperlukan tentu adalah regulasi yang dapat memulihkan posisi tawar para petani. Ini tantangan tersendiri bagi pemerintah setempat dan bagi siapapun yang perduli perniagaan kopi tano batak di pentas daerah maupun nasional.
Letak geografis Taput yang beribukota di Tarutung sesungguhnya tidaklah menjadi masalah. Tarutung, jelas pintu depan sentra produksi kopi Taput untuk Kawasan Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatera Utara. Ke arah pantai timur menuju Medan telah ada kota niaga Pematang Siantar yang dapat menjembatani Tarutung-Medan. Kawasan Pantai Barat telah ada Sibolga alih-alih pelabuhan Barus tempo doeloe. Yang sedikit masalah menuju pantai barat hanyalah terowongan penghubung Tarutung-Sibolga yang disebut Batu Lubang, tepatnya di Kecamatan Sitahuis, Tapanuli Tengah. Ini masalah yang sebetulnya tidak terlalu sulit diatasi, karena hanya pelebaran terowongan agar katakanlah 2 truk niaga besar bisa berselisih jalan. Terowongan itu ada 2 buah pada bukit batu yang berdampingan, masing-masing panjangnya 8 dan 10 meter. Total 18 meter. Tidaklah tepat kalau ada pendapat yang mengatakan letak geografis seperti ini tidak menguntungkan. Sejak missionaris Nommensen masuk ke tano batak 150 tahun yang lalu pun, Tarutung telah menjadi pusat niaga di tano batak. Jadi tak ada yg perlu dipermasalahkan dengan letak geografis kota Tarutung ini.
Memutus rantai masalah
Untuk mengembangkan perkebunan dan industri kopi rakyat di Taput, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memutus habis ketidakefisienan selama ini, Pertama, mengkonsolidasikan para petani kopi di Taput, khususnya sentra penghasil seperti Pangaribuan dan Sipahutar. Konsolidasi dimaksud tentu datang dari Pemda setempat. Kedua, mempersiapkan infrastruktur sentra kopi yang relatif lengkap seperti tempat pengeringan dan pembersihan kopi hingga menjadi biji kopi sesuai standard mutu yang bebas dari kulit ari pertama dan kedua. Ketiga, menyiapkan pergudangan modern bagi kopi-kopi biji kering hasil sortiran yang siap diolah peroaster kopi yang jauh sebelumnya telah diundang dan difasilitasi pemerintah untuk memproduk Kopi Roaster di sentra-sentra kopi Taput. Kita tidak perlu lagi melihat dan menganggap Starbuck sebagai pemain tunggal untuk Kopi Arabika Batak. Berbagai pabrikan nasional yang modern dan sangat kompetitif seperti Otten Coffee dan Excelso dapat dijembatani oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk menjadi peroaster langsung di sentra-sentra kopi Taput. So kota Medan dan Sibolga hanya menjadi tempat pelepasan kopi saja dalam kontainer modern untuk perniagaan kopi secara nasional dan internasional.
Sebagaimana diketahui, Kopi, Haminjon (Kemenyan), Kayu Manis, Nenas, Cacao dll di Taput pada dasarnya surplus. Hanya saja, karena tak terkelola dengan baik dan didominasi habis tengkulak di tengah jalan. Maka terlihat seakan Taput minus. Inilah "penyesatan niaga" dalam perniagaan kopi biji di Taput selama ini.
Simultan dengan itu, pemerintah setempat dengan melobbi pemerintah pusat sudah saatnya mengundang para pengusaha nasional untuk menjembatani Fair Trade antara Petani Kopi Taput dengan para buyers di Eropa dan USA. Pemerintah setempat harus mampu menjelaskan kepada siapa pun bahwa Kopi Rakyat Taput yang lebih dikenal dengan nama Kopi Sigarar Utang (Pembayar Utang) atau Kopi Ateng yang mendominasi lahan perkebunan kopi di daerah ini adalah salah satu produk unggulan Taput bahkan nasional, sebagaimana direlease pemerintah dengan resmi kuranglebih 1 dekade lalu.
Sigarar Utang dan Penyesatan Niaga
Kopi Sigarar Utang bukanlah bahan baku pembuat mesiu seperti yang selama ini disesatkan oleh para pengusaha tak bertanggungjawab kepada para petani kopi di Taput dan Tano Batak pada umumnya. Kopi Sigarar Utang yang di Dunia Barat dikenal sebagai Lintong Coffee ini adalah salah satu jenis Kopi Arabika terbaik di dunia.
Dalam kontes kopi di Amrik tahun kl 2 dekade lalu, kopi berpostur pendek seperti Ateng si pelawak ini berhasil memperoleh skor tertinggi yi 86. Sementara kopi lainnya seperti Kopi Toraja, Kopi Bali, Kopi Lampung dll hanya memperoleh skor 80-82. Kopi Sigarar Utang pertamakali dirintis pembudidayaannya (awal 1980-an) di Lintong Ni Huta, sebuah desa di Humbang Hasundutan yang berbatasan dengan Siborongborong Taput. Nama Lintong inilah yang kemudian menjadi nama beken Kopi Sigarar Utang di Dunia Barat.
Starbuck Raja Kopi Amrik mencatat citarasa kopi ini dengan kalimat hebat : Kopi ini aromanya sangat eksotis dengan aneka rasa herbal dan rasa oranges yang lembut. Begitu kita minum badan pun terasa segar dan lidah kita menikmati sensasi rasa yang cukup lama. Kopi Arabika berpostur pendek yang begitu dipuja Dunia Barat ini - belasan tahun setelah diawali di Lintong Ni Huta - akhirnya tersebar merata di Tano Batak. Dan saat ini lebih banyak dibudidayakan di Taput, terutama di Kecamatan Pangaribuan, Garoga, Sipahutar, Sipoholon dan Siborongborong.
Mengapa kopi berpostur pendek ini disebut Kopi Sigarar Utang (Pembayar Utang) dan juga disebut Kopi Ateng? Itulah hebatnya trick pedagang di Sumatera Utara. Sejak awal boleh jadi sudah ada semacam deal antara para akhli kopi yang merintis pembudidayaannya di Tano Batak dengan para "Cukong" untuk memproklamirkan kopi yang nilai komersialnya dimotivasi Pasar Dunia Barat yang selalu haus akan Kopi Arabika ini sebagai sejenis kopi khusus yang hanya digunakan untuk bahan baku mesiu dan bukan untuk dikonsumsi. Sungguh pembodohan yang luarbiasa jahat dan hebatnya tak pernah ada pelurusan informasi barang seinci pun dari pemerintah atau tokoh-tokoh setempat. Yang terjadi justeru pembiaran berlarut hingga sekarang.
Ketika jenis Kopi Arabika yang sangat spesial ini pertamakali diperkenalkan (awal 1980-an), petani menanamnya dengan ragu-ragu. Tapi di perjalanan waktu karena setiap panen tak pernah tak laku terjual kepada para tengkulak, maka tanaman ini menyebar dengan cepat ke seluruh Tano Batak. Kopi jenis Robusta pun mulai tersingkir. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa Kopi Arabika Batak larismanis di pasar dunia. Petani "senenkemis" di wilayah ini pun gembira, meski tak pernah tahu bahwa kopi mereka sudah mendunia seperti itu. Mereka sungguh tertolong, karena Kopi Sigarar Utang tak pernah rewel. Tano Batak ternyata habitat yang cocok untuknya. Tiap bulan terusmenerus sepanjang tahun para petani dengan santai tinggal memetik buahnya saja dari tanaman istimewa yang sangat produktif ini. Begitu hasil panen terjual, maka utang mereka kirikanan pun terbayar. Itu yang terpenting. Karena Sigarar Utang berpostur pendek, khas Arabika Tano Batak, dengan tinggi max 2 m dan jari-jari percabangan 1,5 m, maka nama pelawak Ateng yang berpostur pendek dan jenaka itu pun dioper menjadi nama bekennya kedua yang juga sangat memasyarakat yi Kopi Ateng.
Penamaan Lintong Coffee yang Salah Kaprah
Adalah fakta bahwa tak pernah terdengar di Tano Batak ini orang menyebut kopi itu dengan nama Kopi Lintong. Hanya para Eksportir dan/atau Pabrikan branded-lah dengan mitranya di Dunia Barat sana yang menamainya sebagai Lintong Coffee.
Buku Tapanuli Utara dalam angka mengungkapkan kuranglebih 65% dari total produksi kopi Tano Batak berasal dari Taput. Dan kuranglebih 70% total produksi kopi Sumatera Utara berasal dari Tano Batak.
Karakteristik Kopi Arabika Batak ini adalah : Tumbuh dengan baik pada elevasi 700-2000 m dpl; derajat keasaman tanah (Ph) 5,5-6,5; jarak tanam yang ideal yi dalam baris 2 m dan antar baris 3 m (dengan pola ini, dalam lahan seluas 1 Ha akan dapat ditanam sebanyak 1.600-1.700 pohon); mulai berbuah pada umur 20 bulan; apabila dipelihara intensif, maka pada umur 3 tahun akan menghasilkan kuranglebih 1 kg buah kopi per pohon setiap bulan; kopi ini akan berproduksi terus-menerus sepanjang tahun; batas usia produktif cukup panjang yi 8 tahun.
Harga Kopi di Pasar
Satu dekade lalu harga kopi per Kg dari Petani ke Tengkulak pada kisaran Rp 8.000-10.000, dari Tengkulak ke Saudagar Besar Rp 20.000-25.000; dari Saudagar Besar ke Eksportir Rp 35.000-45.000 dan dari Eksportir ke para Buyers di Eropa dan Amrik Rp 55.000-75.000.
Tata niaga yang berlaku selama ini yi di tangan para saudagar besarlah kopi ini disortir kembali dan dilepas kulit ari pertama dan keduanya sesuai standard Eropa-Amrik. Setelah kering betul dan sudah layak disebut sebagai Roaster Coffee, kopi roaster ini selanjutnya disalurkan kepada para eksportir untuk kemudian dikirim kepada para pelanggan di luar negeri.
Untuk sekarang ini, asal-lah tahu, harga dasar Kopi Sigarar Utang atau Kopi Arabika Batak di Pangaribuan, Taput, ambruk total pada kisaran Rp 10 - 15 ribu per Kg, Tadinya sempat Rp 20 – 25 ribu per Kg, begitu info via telpon baru saja dari sepupuku Harison di Pangaribuan, Taput. Mengapa? Ya gegara pandemi Covid-19.
Meski pandemi, pe-roaster branded seperti Otten Coffee yang mangkal di Medan dan Excelso yang diam-diam juga mangkal disana, bahkan Starbucks yang sudah cukup lama mangkal di Humbahas, sesudah menggiling Kopi Arabika Batak dengan penamaan sesat Lintong itu sesuai permintaan pasar, maka para pe-roaster branded itu mematok harga kemasan per 200 gram Rp 175 ribu di outlet khusus seperti Carrefour, Hypermart, Walmart, Sogo dll. Bagaimana dengan harga per Kg? Dipastikan pada kisaran Rp 800-850 rb. Nyaris Rp 1 juta bukan. Kecian deh lo Komunitas Kopi Tano Batak! Di masa pandemi ini kopi biji lo yang mentahan itu ambruk dengan harga Rp 10 rb per Kg.
Kopi Arabika Batak dan Kepariwisataan Toba
Dalam rangka membangun image tano batak, apalagi BODT (Badan Otorita Danau Toba) telah berhasil memacu pengembangan infrastruktur perhubungan pariwisata di lingkar Toba, sebaiknya ke depan nama Kopi ini diubah permanen menjadi Kopi Arabika Batak dan bukan lagi Kopi Sigarar Utang, Kopi Lintong atau Kopi Ateng. Kan keren tuh Kopi Arabika Batak ada di seluruh Kafe, Resto, Hotel dan warkop-warkop tradisional Batak di seluruh obyek wisata Lingkar Toba hingga ke daerah periferinya di pantai timur dan pantai barat Sumut.
Dari gambaran di atas dapat kita lihat betapa naifnya pemerintah setempat yang telah mengabaikan regulasi tataniaga kopi dan tidak melakukan improvisasi apa pun selama belasan tahun.
Pemerintah setempat bertanggungjawab mengundang Pengusaha-Pengusaha Nasional atau Lembaga-Lembaga Penjamin yang terpanggil untuk itu. Tinggal sekarang goodwill dan keperdulian para pemodal internal Sumut dan Nasional saja yang penting, ntah dimanapun ybs tinggal dan berbisnis. Tapi ini pun disertai catatan jangan tunggu bim salabim yang takkan pernah menjadi kenyataan atau tunggu wahyu dari roh leluhur. Artinya pemerintah setempat yang memiliki wewenang khusus dalam penetapan kebijakanlah yang harus berimprovisasi di sini untuk mengundang mereka dengan cara yang layak dan terhormat.
Dalam membantu industri kopi rumahan dari warga lokal, dengan menyadari sepenuhnya bahwa taste produk kopi rakyat rumahan beranekaragam tidak keruan ibarat plasma nuftah di belantara Bukit Barisan dan konsumen pun kebingungan, maka tidak perlu tunggu ini dan tunggu itu. Yang diperlukan di sini adalah memfasilitasi teknik dan/atau seni pengolahan kopi. Itu adalah tugas para peroaster kopi ntah Otten Coffee, Excelso, bahkan Starbuck yang telah memonopoli Kopi Arabika Batak selama ini.
Di Pangaribuan, salah satu kecamatan di Taput, ada seorang boru Pakpahan Pengrajin Kopi Bubuk yang begitu kreatif meracik kopi dengan membubuhkan kayu manis dalam penggorengan tradisionalnya. Rasanya? Tak kalah dengan kopi bubuk yang sudah branded seperti Singa dan Kapal Api. Hal kreatif semacam ini kan bisa disinergikan dan dipertimbangkan para pe-roaster kopi yang sudah branded.
Tentang kemasan produk? Velg mobil merk Firelli yang mahal itu misalnya. Jangan terpukau dulu. Itu hanya sebuah merk. Sebuah image yang dibangun lama oleh seorang Italia bernama Firelli. Pabriknya? Hanya dari rumah ke rumah saja alias Home Industry. Tapi ada standarisasi mutu. Kita pun bisa begitu. Dari rumah ke rumah. Tapi begitu menjadi produk. Kemasan seragam dan mutu seragam. Siapa sangka. Sadarlah, bukankah rakyat itu sendiri adalah Pabrik Besar asal terorganisir.
Pengembangan perkebunan kopi, industri kopi dan tata niaga perkopian rakyat di Taput tidak bisa lagi ditunda. Industriawan perkopian sudah saatnya bergandengan tangan berjalan seiring sejalan dengan komunitas kopi tano Batak. Lupakan negeri mimpi. Lupakan para penyanyi cengeng yang menangisi cinta. Tapi tataplah mereka. Ya, mereka wong cilik yang mau maju tapi terpinggirkan dan tertindas selama ini oleh rantai niaga yang jahat dan berdarah.
Depok Bolanda, Tue’, Nov’ 16, 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H