Mohon tunggu...
Medy P Sargo
Medy P Sargo Mohon Tunggu... Konsultan - Ketua Umum Forum Pengamat Kekayaan Intelektual (FORMATKI/FIPO)

Berkiprah di bidang layanan konsultasi hak kekayaan intelektual (Reg:1062-2020); gandrung di bidang musik (song creator/vocalist); tertarik pada persoalan hukum, politik, sosial budaya, iptek, dan kebangsaan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Demokrasi Bersyarat?

25 April 2019   06:04 Diperbarui: 25 April 2019   06:32 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepertinya terlihat tulisan panjang di langit mendung yang menjelaskan bahwa ada bau tercium dari kalangan elite politik tertentu tentang gejala penyelesaian konflik politik pasca pilpres sepertinya sedang didesain mengarah pada sebuah bentuk KEKALAHAN BERSYARAT atau MEMENANGAN BERSYARAT.

Jika itu terjadi maka tidak tepat penggunaan tema BERSATU UNTUK BANGSA, melainkan BANGSA UNTUK BERDUA, sebagai pilihan tema yang menggelikan.

Demokrasi apakah ini jika jabatan presiden/wakil presiden harus ditentukan lewat pemilihan umum, namun buntut-buntutnya berbagi kekuasaan lewat kesepakatan. Mungkin istilah Demokrasi Bersyarat menjadi tepat digunakan bila tak boleh menggunakan Demokrasi Terbelenggu. Dan yang paling menyedihkan demokrasi bersyarat ini diwujudkan sebagai respon terhadap gerakan intimidasi yang mengancam perpecahan bangsa.

Rupanya kesadaran para elit belum sepenuhnya bisa menerima demokrasi murni. Katakanlah tak menjadi soal jika ada kesepakatan. Tetapi tetap harus ada batasan yang jelas dan logis agar tidak melukai sebahagiaan rakyat yang telah berjuang menegakkan demokrasi.

Sangat nenyedihkan jika demokrasi harus dikorbankan demi mengakomodir rakyat cengeng. Sebab akibatnya akan melenyapkan fungsi kontrol dari oposisi dan melemahkan segala tiang-tiang penyangganya. Padahal oposisi sangat diperlukan dalam demokrasi. Jika opsisi tidak vocal, demokrasi apa namanya. Tak ubahnya seperti era orde baru. 

Maka bersiap-siap para penjahat politik dan birokrasi akan ramai-ramai lagi pesta dalam kegiqtan korupsi berjamaah. Karena kontrol akan kian melemah. Lebih parah lagi jika akhirnya terjadi pembebasan para kriminal perusak pikiran generasi muda. 

Maka  berarti kerugian bangsa bukan hanya berupa anggaran Rp.25 T, melainkan juga masa depan demokrasi Negara ini yang semula bisa diharapkan mengantarkan Bangsa ini memasuki era peradaban yang sesungguhnya, sebagai bagian dari dinamika masyarakat internasional.

Kalaupun kesepakatan merupakan satu-satunya jalan, namun tetap tidak patut dibuat di tengah jalan ketika hasil keputusan KPU belum ditetapkan. Dan itu seharusnya dilakukan di ruang parlemen. Bukan di luar parlemen. Jadi sebaiknya menunggu penetapan KPU dan dilanjutkan pelantikan anggota DPR/MPR, dan DPD, serta presiden/wakil presiden sesuai jadwalnya.

Tantangan hari ini adalah menuntaskan hasil pemilu secara murni tanpa tekanan pihak manapun. Ini penting bagi pembelajaran demokrasi ke depan, khusunya bagi generasi muda. Sebab jika ini gagal, jangan berharap ke depan akan mampu berdemokrasi secara benar. Saat itulah Negara akan mudah digoyang oleh kekuatan pengganggu manapun yang membonceng. Akhirnya terjadi transaksi jual beli kepentingan politik yang mahal. Rakyat juga yang dikorbankan.

Saya belum akan mengupas lebih jauh. Sebab saya baru nencium gelagatnya saja. Saya menunggu perkembangannya dalam perasaan kecewa. (Medy P Sargo)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun