Mohon tunggu...
Eltuin Parker
Eltuin Parker Mohon Tunggu... Apoteker - Pengurus Pusat Persekutuan Pemuda Gereja Toraja (PPGT) / Kabiro Pemuda PGI Wil. Sulselbara

Farmasis berdarah Toraja yang berjiwa Indonesia, berupaya mewarnai dunia lewat tulisan dan ide.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia, Kembalilah!

13 Mei 2017   08:59 Diperbarui: 13 Mei 2017   10:02 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kristen dan Katolik tempat ibadahnya disebut Gereja, Islam disebut Masjid, Hindu disebut Pura dan Buddha disebut Wihara”. Itu kata orang tua saya dulu, waktu saya masih kecil. Saya diperkenalkan tentang Indonesia dan Bhineka tungal ika oleh orang tua & guru di sekolah. Mereka mengatakan bahwa tempat kita tinggal saat ini bernama Indonesia. Bukan hanya Toraja, tapi di luar sana ada banyak tempat  yang dihuni oleh orang lain. Bukan hanya Gereja Toraja, tapi ada gereja yang lain, bahkan agama yang lain.

Dalam pelajaran agama, baik di sekolah dasar maupun di sekolah Minggu, saya memang banyak belajar tentang kisah-kisah yang ada dalam Alkitab. Hal itu memang sudah seharusnya. Saya diajar tentang kasih kepada semua orang. Dalam pelajaran PPKN-lah kemudian saya kemudian mengenal tentang agama lain di luar Kristen. Saya tidak diajar tentang ajarannya, tapi saya diajar tentang hari-hari besar keagamaan, nama tempat ibadah bagi lima agama tersebut dan beberapa hal terkait hal tersebut, seperti ciri pakaiannya. Buat saya, itu cukup untuk tahu bahwa ada orang lain di luar komunitas saya.

Kecuali Katolik, saat masih duduk di bangku SD, saya tidak memiliki teman yang berbeda agama. Itu karena memang di kampungku semuanya Kristen. Namun, saat memasuki masa SMP saya punya 3 orang teman yang beragama Islam. Meskipun demikian, pertemanan kami tidak ada masalah. Bahkan rasanya memang tidak ada yang berbeda. Kami tak pernah bercerita tentang agama.Ppada zaman tersebut pembahasan soal agama bukanlah hal yang menarik.

Saat SMA, teman kelas saya beragama Islam hanya satu orang. Tapi seperti biasa, semuanya berjalan normal. Tidak ada diskusi apapun tentang agama.

Tahun 2006 Setelah tamat SMA, saat saya diterima di Jurusan Farmasi Unhas, saya justru menemui hal yang berbeda, beda dengan yang selama ini saya jumpai. Saya punya teman angkatan yang mayoritas beragama Islam denga dosen yang juga hampir semuanya beragama Islam. Saya juga punya seorang teman yang beragama Hindu, satu orang Buddha, tiga orang Katholik dan beberapa teman bergama Kristen Protestan. Meskipun sering ada yang mencoba memancing debat soal agama, tapi secara umum, semuanya berjalan dengan baik yang bertahan selama hampir 10 tahun.

Tahun 2012, untuk kali pertama saya ikut kegiatan yang bernama forum komunikasi antar umat beragama. Di sana saya berjumpa dengan pemuda Indonesia yang berasal lima agama lainnya, termasuk dengan Khonghucu yang belakangan ditetapkan sebagai salah saru agama yang diakomodir di Indonesia. Dalam kegiatan tersebut kami mengunjungi masing-masing satu tempat ibadah bagi agama tersebut. Kegiatannya berjalan lancar, dan semuanya baik-baik saja. Di sana saya belajar makna pluralisme agama dan toleransi antar umat beragama. Semunya berjalan dengan baik.

Namun, kini semuanya serasa berbeda. Dan memang terlihat berbeda. Tiada hari tanpa diskusi atau debat soal agama. Segala simbol atau barang-barang dipandang seolah-olah punya agama. Teriakan kata “kafir” lebih sering terdengar. Bahkan, kini diskusi dengan teman sendiri menjadi kurang harmonis, padahal dulunya biasa saja. Ruang kuliah juga kadang menjadi kurang mengasyikkan, karena sering menyerempet kepada persoalan agama.

Saya melihat, nampaknya semua masalah ini muncul dari kacaunya sistem politik serta kurang dewasanya kita dalam menghadapi perbedaan. Perbedaan pilihan politik justru menjadi jalan mempertentangkan agama yang pada mulanya tidak ada masalah.

Lebih miris lagi, banyak orang yang telah sarjana bahkan menjadi doktor atau profesor, tapi justru membelengguh perasaan dan pikirannya dengan kebencian, termasuk kepada yang beda agama apalagi kalau satu paket dengan beda pilihan politik. Jika demikian, lalu siapa yang akan mengatakan “di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku”? Harusnya kita semua yang telah menikmati kehidupan di bumi Nusantara ini.

Indonesia yang kini telah punya 34 Provinsi, rasa-rasanya tidak seperti Indonesia yang saya kenal dulu--Indonesia yang toleran, yang ramah dan punya cara hidup gotong royong. Indonesia yang minim pengakuan pada prestasi orang lain, hanya karena beda agama, suku dan pilihan politik.

Indonesia yang saya kenal kini, rasanya hanya terdiri atas dua pembahasan saja, agama dan politik. Kalaupun ada yang berbicara tentang yang lainnya, pada akhirnya berujung pada dua pokok bahasan itu--agama dan politik. Bahkan anak-anak yang tahunya bermain tanpa mengenal perbedaan agama, kini harus tersekat dan dipaksa mengenal perbedaan dia dengan temannya yang berbeda agama.

Indonesia yang dulu diajarkan dalam IPS--berada di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik; Benua Asia dan Benua Australia--masih sama dengan Indonesia saat ini. Tapi, mengapa rasanya kini telah berubah? Seolah-olah Indonesia yang itu beda dengan yang saya tempati tinggal saat ini. Di mana Indonesia yang dulu saya baca dalam buku pelajaran sekolah? Saya berharap bisa mengenalnya kembali. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun