Dari Bandung yang masih sunyi di hari Jum’at yang selalunya dijejali tamu dari Jakarta dan sekitarnya, Bis Primajasa meluncur ke Soekarno-Hatta International Airport di Cengkareng pukul 3.30 dini hari. Kepala Saya masih sedikit berat karena pukul 2.00 dini hari baru menyusun kata penutup untuk artikel perjalanan ke Pulau Komodo. Bis seperti melayang di atas aspal yg memantulkan cahaya lampu penerangan jalan. Setiap ayunannya disertai bunyi gemercit engsel yg longgar, yang menghipnotis sehingga Saya tertidur, lagi.
Empat wajah besar menatap dari box truk yg melaju lambat di depan. Mata terbuka setelah rem mendadak dihantam oleh Pak Sopir. Ada 4 ekor sapi hampir menempel di kaca depan bis yang Saya naiki. Sapi-sapi itu tak memejamkan matanya saat sorot lampu semakin dekat dengan plat nomor truk itu. Ketakutannya seolah menembus kaca. Mereka tetap terjaga, seolah tak pernah tidur.
Belum sampai pukul 5 subuh, bis dan truk sudah menjejali beranda Kota Jakarta yg makin sesak di kawasan Halim. Saya mencoba mengingat kota ini 20 tahun lalu, sebagai perbandingan dengan suasana yang Saya saksikan. Kota ini kian membenam.
Tapi tak lama, bis dapat melesat terus ke arah Cengkareng. Saya berpikir, begitu cepat semua berlalu, dari tidur yang menyelinap di belakang kesadaran Saya, hingga terbangun disambut avenue Bandar Udara terbesar di negeri ini. Sempat juga terpikir, kehausan akan kekuasaan masih nampak dari para politikus dan penguasa di Indonesia. Terlalu cepat bis melaju dengan kecepatan 1 provinsi/jam akibat desentralisasi dan otonomi daerah. Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten dibesut dalam 3 jam.
Bandara Internasional Mirip Terminal Bis
Kondektur bis meneriaki ruang temaram di dalam bis, seperti tak ada cara yang lebih elegan. Di lain waktu sebelumnya, kondektur lain menyebutkan nama terminal keberangkatan dan jenis maskapai yang ada. Di saat itu, hanya nama terminal saja, sehingga beberapa penumpang sempat panik, tak tahu kapan harus turun atau tetap duduk. Setelah nampak kepanikan, barulah disebutkan maskapai yang berkantor di terminal itu. Turunlah para penumpang seperti tak tahu kata ‘antri’.
Mata-mata tajam memandang sambil duduk di bangku panjang dan juga di kafe-kafe tepi terminal bandara. Mungkin sorotan mata itu karena mereka masih dalam suasana tidur yang dipaksa bangun. Antrian panjang memaksa pendatang tak sabar menembus dari tepi, tak menghiraukan mereka yang sudah lama sebelumnya mencoba disiplin. Tak ada pagar yang membatasi mereka dari ‘pelanggaran’ etika yang jamak terjadi di setiap pelosok negeri ini.
Ada teori di bangku kuliah yang dulu sempat dibahas dalam destination management. Fasilitas semestinya mengikuti budaya pengguna. Kebalikannya akan tersandung pada perubahan 'budaya'. Termasuk di airport. Bagi mereka yang sudah terbiasa dengan disiplin tinggi, jalur tak berpagar tak jadi masalah karena pengguna secara ‘alami’ akan membuat jalur rapih. Itu tak terjadi di negara berpenduduk yang tak menjunjung tinggi disiplin. Tumit Saya sedikit linu terbentur troli calon penumpang yang terus menyeret Saya tak sabar dari belakang. “Ini apa? Terminal Leuwi Panjang?”, Saya tahan gerutuan itu di dalam pikiran.
Kesan Pertama Tentang Banda Aceh: Melayu.
Kegaduhannya yang tak terdengar dan jauh dari setiap pojok pandangan membuat Banda Aceh seperti kota yang menyenangkan. Kota Bandung yang Saya diami hampir sepanjang hidup menjadi tak menarik lagi untuk membesarkan si kecil. Kerap kali Saya berpikir, “Bukankah bumi Tuhan sangat luas? Kenapa bersikeras menetap di tempat yang tidak menjanjikan lebih bila kenyataannya keinginan kita berlebih?” Satu saat Saya menyimak radio dengan pembicara mengatakan bahwa ‘ketidakpuasan’ kita akan membuat kita ‘bergerak’ dan berubah.
Banda Aceh seperti Bandung menjelang Iedul Fitri. Tak banyak orang, rapih mulai terlihat, dan –sederhananya – menyenangkan.
Penerbangan hampir selama 4 jam yang sempat menyinggahi Polonia, Sumatera Utara barang sesaat, membuat perut perlu perhatian.Di Jl. Panglima Nyak Makam no. 53 Saya diajak makan oleh organizer yang berbaik hati mengundang untuk acara lomba layar di Sabang. Restoran ini nampak biasa, dengan papan nama besar bertuliskan SOP SUMSUM LANGSA.Membayangkan sumsum tulang yang gurih langsung meningkatkan selera. Sumsum tulang disajikan dengan sedotan yang tertancap di rongga tulangi, selayaknya memesan minuman dalam kemasan dengan botol berupa tulang sapi di atas piring.
Hmm.. Harumnya memadati penjuru ruangan restoran ini. Aroma menguap dari tulang sapi besar yang berkuah.
Logat bahasa yang Saya dengar serentak menyadarkan bahwa ini bukan Bandung. Jilbab yang dikenakan oleh setiap gadis di restoran ini, serta kopi saring yang diseruput oleh seorang bapak di meja seberang menepuk ingatan Saya akan Penang, Malaysia. Banda Aceh yang Saya rasakan saat itu, berkesan Melayu.
Sabang di Pulau Weh, Definisi Esensial ‘Indonesia’
Pelabuhan Ulee Lheue (dibaca: Ulele) begitu kuat memperlihatkan perombakan infrastruktur Aceh pasca tsunami. Melewati Mesjid Baiturrahmi, mesjid kecil yang tak goyah diterpa gelombang dahsyat tahun 2004. Menyebrangi selat ke Pelabuhan Balohan di Pulau Weh hanya 40 menit. Tapi goyangan di lambung feri cepat sempat membuat pening. Mungkin karena waktu tidur yang kurang, atau karena sop sumsum yang hebat.
Setiap penjuru jalan di Pulau Weh mengkampanyekan ‘Damai Itu Indah’. Sungguh menarik melihat kampanye itu terwujud di pulau kecil ini. Di sini tingkat kejahatan sangat rendah, menurut pengakuan seorang pengusaha kedai kopi di Simpang Garuda, Sabang saat Saya menyempatkan diri melihat kota yang mendefinisikan kata ‘Indonesia’, yaitu Dari Sabang Sampai Merauke, bukan dari kota lain, tapi dari Sabang.
Sekitar 45 menit dari Balohan, Pantai Gapang terbaring, mencoba menidurkan tamunya yg mendambakan masa istirahat. Saya. Pantai ini dan tetangganya, pantai Iboih (baca: Iboh), adalah salah satu titik peraduan bagi para backpackers di kawasan segi tiga Phuket, Penang, Sabang.
Setahun sebelumnya, Saya sempat mampir di Raja Ampat, dari Sorong, Waisai, Waiwo, hingga ke Wayag yang cocok hanya untuk penulisan buku atau setting film. Bahkan bagi para pengantin baru pun seolah kepulauan Wayag ini terlalu ‘ramai’ bagi alamnya. Indah, tak tersentuh, merupakan koleksi alam yang tak boleh rusak.
Di bagian barat Indonesia, Pulau Weh bagaikan Raja Ampat-nya. Walau hanya terdiri dari 5 pulau, yaitu Pulau Weh, Pulau Klah, Pulau Seulako, Pulau Rubiah, dan Pulau Rondo, kawasan ini bisa jadi destinasi alternatif bagi mereka yang memandang Raja Ampat terlalu jauh.
Mungkin fotografi tak mengenal Saya sebagai bagian dari yang terbaik di dunianya, tapi semua foto yang Saya ambil di pulau ini menyuguhkan warna biru, toska, hijau, jingga dan semua warna yang menyambungkannya dengan begitu ajaib. Saya tak yakin ini semua foto dari kamera yang Saya jinjing, walau ada sebersit keyakinan bahwa semua image yang terlahir akan indah.
Wisata Bahari dan Islam?
Sempat berbincang dengan Pak Alto, sebutan pendek bagi Kepala Seksi Promosi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sabang, Ali Taufik. Ia terus mengatakan bahwa di tahun ke-7 kebangkitan Aceh dalam mengembangkan kepariwisataannya masih perlu dukungan penuh dari semua pemangku kepentingan. Tentu benar. Pertanyaan besar bagi Aceh ialah bisakah majukan industri pariwisata bahari dengan tetap melindungi syariah Islam. Bisakah?
Dalam renungan di tepi pantai yang terlalu indah untuk memikirkan pekerjaan, Saya yakin bahwa tak ada permasalahan mendasar antara Islam dan wisata bahari. Karena salah jika memandang industri pariwisata sebagai industri maksiat. Ini industri pensejahtera harkat dan martabat.
Bila ada yang berpikir bahwa Islam akan berseteru dengan kepentingan kepariwisataan dan wisatawannya, maka Saya bertanya, mengapa mereka menempatkan pariwisata di ranah yang berseberangan dengan agama? Apakah karena pembawaan wisatawan yang selama ini sedikit bebas dan jauh dari norma Islam? Salah sekali bila melakukan generalisasi tentang pariwisata dari sudut pandang itu saja.
Pariwisata sama halnya dengan ‘Islam’ yang dikenal oleh masyarakat kita. Kalau boleh, keduanya bisa dibilang netral, bahkan baik. Keduanya pun bisa dipandang sebagai social construct, sesuatu yang dibentuk karena pandangan umum dan menjadi opini atau norma kolektif. Bila keduanya dibawa oleh orang ‘baik’, maka keduanya menjadi baik. Bila dibawa oleh orang ‘tidak baik’, maka otomatis, keduanya pun jadi ‘tidak baik’. Seperti Islam bila dianut oleh orang ‘radikal’, maka jadilah Islam itu radikal. Padahal tidak seperti itu.
Bila pariwisata dibawa ke jalur yang baik, maka pariwisata pun akan dipandang baik. Wisatawan akan ‘menganut’ mazhab pariwisata ini, bukan pariwisata yang diasosiasikan dengan kegiatan di Phuket atau di Las Vegas misalnya. Abu Dhabi pun mengenal industri pariwisata, dan maju, dan ‘Islam’ berlaku di sana. Apa kabarnya wisatawan yang berkunjung? Mereka menyesuaikan. Tak selamanya wisatawan itu –walau bule – ingin menampakkan bahu dan punggungnya tak berbalut.
Menderu Sabang, Santai Banget, dan Sensai Mewah Di Atas Yacht Depan Iboih dan Rubiah
Deru angin di ruang fly bridge sebuah powerboat bernama Reely Nauti Too menambah sensasi mewah berkendara wisata bahari.Pagi itu Martin Eleveld, pemilik yacht berusia 6 tahun ini mengajak untuk berputar-putar Pulau Rubiah dan Seulako sambil memperlihatkan kebolehan kapalnya memancing. Iya, kapal mewah dengan panjang 15 meter ini memiliki buluh pancing besi di pinggir kapalnya yang retractable, atau dapat dijulurkan dan dilipat lagi.
Warna putih mendominasi interior dan eksterior kapal super ini. Martin mengakui bahwa Sabang jauh lebih santai dibandingkan Langkawi atau Phuket, atau Singapura. Seperti kata Kemal, salah seorang pegawai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sabang, bahwa Sabang merupakan kependekan dari ‘Santai Banget’.
Nyatanya, Martin pun yang berdomosili di Thailand berikrar bahwa di perairan Sabang, ikan sangat mudah ditemukan dibandingkan perairan di Phuket. Di panel pengendalinya yang harganya miliaran ditunjukkan betapa mudah mendeteksi dasar laut di lepas pantai Pulau Rubiah dan juga nampak gerombolan ikan di layar kaca yang semua dikendalikan dengan jari, penada digital, dan tombol kecil.
Dari kejauhan, pantai berbatu di depan Iboih Inn membentang, tersembunyi dari pandangan keramaian. Hanya dengan mengintipnya melalui lensa 100 – 400 kamera Saya, barulah ketersembunyian itu muncul di LCD kamera. Rumah kayu yang berkaki panjang dipasakkan di atas cadas tepi pantai menjulurkan berandanya di atas perairan dangkal yang berkoral indah. Para backpacker nampak membaca buku di atas kursi dan meja kayu tua, melepas pandangannya sesekali ke lautan lepas.
Iboih dan Rubiah konon adalah pasangan suami istri yang dianggap orang keramat di sana. Mereka berpisah karena perbedaan pandangan tentang pemeliharaan anjing, sehingga mereka tak hanya berpisah ranjang, tapi juga berpisah tanah, dan jadilah tanah kediaman Tengku Rubiah itu menjadi sebuah pulau yang tak jauh dari Iboih, suaminya. Yang jelas, pulau Rubiah tetap dijaga sebagai tempat keramat dan dahulu, calon haji ke tanah suci berkumpul di sini sebelum berangkat ke tanah suci.
Saking indahnya perairan di Iboih, seorang Direktur Jenderal Pemasaran dari Kemenbudpar sempat menyabet snorkeling gear dan loncat ke taman laut Pulau Rubiah. Nampaknya beliau masih menyisakan jiwa petualangnya di sela-sela kesibukannya mengatur kepariwisataan negara ini. Tak bisa mengatakan indah bila tak dicoba langsung oleh sendiri.
Tak Hanya Bahari
Sabang itu indah seperti kampung halaman umat senegri ini. Mempertahankan keindahannya adalah tugas semua umat di Indonesia. Hutannya masih perawan, hingga monyet-monyet di tepi jalan dan di Tugu Kilometer Nol pun begitu bersemangat saat melihat kita, manusia.
Di dalam lindungan hutan tropis yang mengalir sungai di celahnya, terdapatlah Air Terjun Pria Laot. Konon, nama itu pun berasal dari nama seorang ‘suci’ yang keramat di Sabang. Dua orang Australia yang bergaya rasta menaiki skuter matik menuju keheningan air terjun ini hingga berhenti di satu titik yang harus dilanjutkan oleh jalan kaki selama 30 menitan. Mereka pun terjun dan menghela nafas puas.Mereka bilang,” very refreshing”. Begitu menyegarkan.
Keamanan di pulau ini sungguh memukau seperti keindahan alamnya. Motor disimpan di tepi jalan seharian dengan kunci masih tergantung. Semua orang sudah biasa seperti itu di Sabang. Pulau ini kecul. Setiap orang tahu dimana rumah mereka. Polisi pun tahu siapa dan apa pekerjaan warganya. Inilah hebatnya keamanan di pulau kecil.
Warganya begitu terbuka dan sedikit terbuka dibandingkan di ‘Aceh daratan’, begitu mereka biasa menyebut Banda Aceh.Seorang pembuat kopi Aceh lagi-lagi menunjukkan betapa amannya hidup di Sabang. Seorang anak SD kelas 4 menunggu Ayahnya untuk menjemputnya di sebuah kedai kopi. “Mau pulang? Berapa nomor telfon Ayahnya? Duduk sini, Abang telfon Ayah sebentar”, katanya. Ini gambaran seorang warga menolong warga lain di Sabang. Bertahun-tahun hal ini sudah tak Saya lihat di Bandung. Andai masih ada.
Kehidupan di Pantai Gapang begitu santai. Gapang yang merupakan pohon Ketapang di tepi pantai yang tumbuh menjulang, dijadikan ayunan untuk wisatawan bermain seharian. Bersantai di sini menarik Saya dari putaran detik-detik waktu. Pantai Gapangmemainkan audioterapi dengan suara deru ombak yg kecil menghempaskan pasir putihnya. Ritual penyambutan sunset dengan merebahkan diri di atas ranjang pohon di bibir pantai Gapang adalah kebiasaan yang menular dan semakin akut saat menikmatinya.
Selain di Gapang, kekayaan alam dan panorama tak perlu disombongkan lagi saat Tuhan menampakkan biru laut-Nya yang tak terbeli. Makan siang di Santai Sumur Tiga Resto serasa menikmati hidangan di depan TV berlayar raksasa. Acara alam di depan mata tak membuat bosan, walau hanya laut dan perahu nelayan yang simpang siur sesekali. Anak-anak pantai yang berenang meraih panggung terapung di laut seolah hiburan yang menjatuhkan acara sinetron.
Pantai Sumur Tiga, Gampong Imelee, Pulau Weh begitu memesona. Menyusuri gradasi warna biru, hijau, dan toska tak membuat bosan. Apalagi tidur di sana seolah menjadikan kita manusia baru, dengan pikiran baru, dan semangat baru.
Perjalanan ke Pulau Weh,Tak Semestinya Berat di Ongkos
Sepertinya bila semua dibuat dadakan, maka ongkos pun melonjak. Tapi bila direncanakan dengan baik dan dilakukan jauh-jauh hari, maka semua serasa tak begitu membebani. Harga pesawat ke Banda Aceh dari Soekarno Hatta International Airport dapat ditekan dengan pemesanan berbulan-bulan sebelumnya dengan menggunakan LCC atau Low Cost Carrier, seperti Air Asia, Lion Air, Batavia Air atau Sriwijaya Air. Dengan memeriksa harga tiket melalui www.dohop.com, Saya mendapatkan informasi bagus tentang harga penerbangan termurah. Terakhir Lion Air menawarkan Rp 700,000 untuk sekali pergi dan tak lebih dari Rp 1,3 juta untuk pulang pergi.
Taxi dari Sultan Iskandar Muda International Airport di Banda Aceh ke Ulee Lheue sekitar Rp90.000. Maka dari itu, pergi ke Sabang lebih baik berkelompok untuk sharing biaya. Menyebrang dari Ulee Lheue ke Balohan hanya Rp 80.000 dengan feri cepat. Taxi atau angkot dari Balohan ke Sabang atau Gapang sekitar Rp 50.000. Sedangkan akomodasi bervariasi, antara Rp 100,000 per kamar dengan fasiltas ala backpacker, hingga Rp 300,000 dengan fasilitas resort. Bila ingin menyewa motor, alokasikan dana Rp 100.000 per hari. Bensin dijual di banyak kios, dengan harga Rp 6.000 hingga Rp 7.000 per liter.
Makan di Sabang lebih murah daripada makan di Bandung. Oleh-oleh dari Sabang kebanyakan berupa makanan ringan. Yang paling sedap ialah bakpia Sabang yang tak seperti saudaranya di Yogyakarta. Bakpia di sini jauh lebih menyerupai bakpia Cina yang pekat kacang hijaunya dan lembut kulit luarnya. Harga per kotaknya sekitar Rp 13.000. Baju lucu dan pernak-pernik kreatif bisa ditemukan di Piyoh, di Jalan Cut Mutia sekitaran Simpang Garuda. Harga per helai T-Shirt beragam, dari Rp 75.000 dan lebih murah lagi. Pin dan gantungan kunci unik hanya Rp 7.000 saja. Karenanya, ini bisa jadi alternatif liburan yang tak ingin diusik keramaian kota.
Trip dilakukan tanggal 19 September 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H