Namanya Rizky. Seorang pemuda berperawakan gagah, cerdas, memiliki sorot mata yang jernih dan tegas, berwajah rupawan. Bersama seratus pemuda dan pemudi lainnya mereka membentuk barisan dalam balutan toga hitam sarjana yang hari ini secara resmi mereka kenakan.
Rizky menampilkan senyuman kemenangan yang paling gemilang di hadapan puluhan kamera yang menghujani wajah mereka dengan kilatan yang menyilaukan mata. Ia pantas tersenyum demikian. Dengan predikat kelulusan Summa Cum Laude (predikat kelulusan terbaik: dengan pujian tertinggi), tentu saja ia sangat bangga dan puas. Setelah acara wisuda yang melelahkan tersebut selesai, ia segera meninggalkan panggung meriah itu, bertolak bersama ayah dan ibunya ke rumahnya.Kepada kedua orangtuanya, Rizky secara mantap mengungkapkan keinginan terdalamnya.
"Saya ingin bekerja sebagai seorang dosen di universitas Prapanca; almamater saya yang tercinta," ujar Rizky saat ditanya mengenai cita-citanya setelah lulus kuliah S3.
Kedua orangtuanya tersenyum lebar, mendukung apa yang dikatakan anaknya itu. Menurut mereka, dengan kecerdasan yang dimiliki  Rizky, ia mampu menjadi pengajar mahasiswa di universitas paling bergengsi di republik ini.
Seminggu kemudian, Rizky dengan penuh keberanian dan rasa percaya diri menemui rektor universitas ibukota. Â Rektor tersebut juga merupakan rektor semasa ia masih menjadi mahasiswa. Dengan percaya diri ditampilkannya semua pencapaian gemilang yang tertoreh di atas kertas ijazahnya.
"Rizky," sapa sang profesor berkepala plontos itu dengan senyuman tipis, sambil membenarkan letak kacamatanya. "Kemampuanmu tak perlu diragukan lagi. Kamu memiliki kualifikasi yang memukau untuk menjadi seorang dosen."
Rizky tersenyum lebar, merasa percaya diri bahwa cita-citanya akan tercapai dengan segera.
"Tapi," perkataan sang rektor tertahan sambil memandang serius ke arah Rizky dari balik kacamata tebalnya. "Apa visi yang kau usung dengan melamar menajadi dosen sosiologi di sini?"
Untuk sesaat Rizky memandang ke langit-langit ruangan sang rektor yang putih. Suasana sebegitu heningnya hingga desingan AC terdengar seperti sayatan pisau.
"Apakah itu cukup penting untuk ditanyakan?"