“Sudah kubilang, Ia tak akan menjawab keluh kita. Kamu masih saja berkeras datang ke tempat kering kerontang seperti ini,” tukas salah satu lelaki yang berbadan pendek itu kesal.
“Aku yakin, di sinilah Ia akan menjawab kita… firasatku mengatakan demikian. Sekali-kali kita tak boleh meninggalkan tempat ini,” lelaki lain berambut pirang membalas dengan tegas.
“Apa kau gila? Seluruh hutan ini tak menyisakan seiris rejeki. Mungkin saja Sang Penguasa Jagad mulai marah terhadap kita karena kitalah yang menggundulkan hutan ini!” Lelaki lain lagi yang berkepala plontos melawan kata-kata lelaki berambut pirang tadi.
“Aku setuju. Itulah masalahnya. Sebagai pemimpin kita, Sam tidak mendengarkan saran kita. Bukankah kita sudah sepakat supaya tidak membabat hutan ini? Kini lihat apa yang kita lakukan, tanah menuntut balas! Harta karun sama sekali tak ada urusannya dengan pembabatan hutan. Dengar kawan, baru sekali ini dalam seratus tahun, kita tak mendengar suara Sang Penguasa Jagad lagi ketika kita memanggil-Nya. Ingat! Hutan ini milik anak-anak yang tak berdosa…” lelaki berbadan pendek itu menegaskan suaranya sambil menuding-nuding pria berambut pirang yang kini kuketahui bernama Sam itu.
“Tapi bukankah mereka bisa bermain bola ditempat ini ketika hutanya kita babat habis?” Sam mencoba membela diri.
“Itu keyakinan pribadimu saja, Sam. Lihat! Sejauh yang kau pandang, manakah pohon yang benar-benar memberikan mereka keteduhan? Setahuku, mereka tak pernah bermain di siang hari lagi karena lapangan ini panasnya luar biasa. Dan itukah yang kau maksud bahagia? Bagiku tidak !” tukas lelaki berkepala plontos garang.
Lelaki berbadan pendek ikut menuduh Sam: “Ya aku setuju! Jika saja kita biarkan hutan ini pada tempat semula, mungkin akan lebih baik keadaannya. Burung-burung akan menemukan tempat persinggahannya, anak-anak desa itu akan bermain dengna leluasa dan pastinya Sang Penguasa Jagad akan menaruh belaskasih-Nya pada kita.”
“Diam kalian, bedebah!!!” Seru Sam dengan suara keras. Tiba-tiba, ia mengeluarkan sebuah pistol revolver dan menodongkan pistol perak itu kepada kedua temannya. Suasana hutan kini diam dan senyap. Tak ada lagi desingan perang mulut. Kedua teman Sam tahu, sia-sialah berdebat dengan orang yang kini megancam hidup mereka.
Beberapa saat kemudian, ekspresi wajah tegang Sam berubah kembali teduh. Ia malah menyarungkan pistolnya.
“Maafkan aku. Lihat saudara-saudaraku,” suara Sam mulai lebih teduh, “aku punya maksud dengan penebangan hutan itu. Dengan kepandaian, kita bisa mendapat kuasa dan rezeki tanpa memintanya lagi…”
Kedua teman Sam yang lain masih tampak tertegun di hadapannya, sambil berusaha mencerna perkataannya. Mereka nampak berpikir keras, penuh curiga.