Eka Kurniawan pernah ‘mengeluh positif’ dalam kata pengantarnya di sebuah antologi cerpen mahasiswa. Menurutnya, tugas yang paling membosankan adalah tatkala menjadi juri lomba cerpen mahasiswa. Keluhannya positif, jika dicerna sebagai sebuah kritik putih, di satu sisi Eka dihidangkan kata-kata yang sebagian besar kering kerontang membosankan dengan tema yang biasa-biasa saja dan penyajian yang juga membosankan khas karya mahasiswa penulis pemula.
Pada sisi lain, sebagai juri yang berkomitmen dia ‘mengharuskan’ sepasang matanya melakukan perjalanan sejak kata pertama alinea pertama sampai kata terakhir di alinea terakhir masing-masing karya. Dia harus membaca seluruh kalimat dari setiap karya yang membosankan tanpa menunjukkan rasa bosan. Antologi cerpen yang diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa Balairung ini merupakan hasil lomba cerpen mahasiswa.
Saat itu Eka Kurniawan belum termasyur. Dia baru menghasilkan sedikit buku. Salah satunya adalah skripsinya yang diterbitkan sebagai buku Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Ini fenomenal karena di Indonesia masih jarang skripsi yang bermetamorfosa menjadi buku. Itu menunjukkan kualitas skripsi tersebut dan mengkonfirmasi kualitas sipemilik skripsi.
Kelak beberapa tahun kemudian Eka Kurniawan sudah melesat menempati orbit kemasyuran sebagaimana mestinya. Salah satunya melalui novel Cantik Itu Luka yang sebelumnya ditolak banyak penerbit. Konon karena terlalu tebal, dan (barangkali) karena saat itu nama Eka Kurniawan belum dasyat terdengar. (Mungkin) penerbit berhitung modal menyikapi novel setebal bantal sofa karya penulis yang belum sekelas Pramoedya. Meski ditolak dia tidak bersedih. “Soal itu saya tak terlalu peduli, dan di masa itu saya masih cukup punya kepercayaan diri anak muda bahwa cepat atau lambat saya akan menemukan satu cara untuk menerbitkannya.”
Tetapi itulah perjalanan proses seseorang, semua indah pada waktunya, tetap konsisten berproses kreatif, kesabarannya berbuah: novel perdananya itu diterbitkan oleh Jendela dan Akademi Kebudayaan Yogyakarta tahun 2002, kemudian oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2004.
Sesudah sempat tidak bersedih, penolakan atas buku Cantik Itu Luka berhasil juga membuat Eka bersedih, beberapa tahun kemudian. “Akhirnya saya bertemu dengan satu editor yang pernah menolak novel tersebut (nama dan tandatangannya memang tertulis di nota kecil penolakan itu), dan dia secara terus-terang bilang membaca novel saya dan menolaknya, salah satu alasannya: novel itu tidak masuk kriteria/preferensi dia mengenai novel sastra yang bagus.
Menurutnya, novel sastra yang bagus mestinya seperti novel-novel Mangunwijaya, Kuntowijoyo, Ahmad Tohari. Tentu saja saya kemudian membaca beberapa karya mereka, dan saat itulah saya merasa sangat sedih. Saya sedih karena saya tahu persis: 1) saya tak ingin menulis novel seperti mereka, 2) jika ukuran kesusastraan (Indonesia) yang bagus diukur dengan karya-karya mereka, saya merasa tak memiliki tempat di peta kesusastraan dan kemungkinan besar saya tak ingin menjadi penulis.”
Sekarang sang editor itu mungkin menyesal dengan hati agak terluka, karena si Cantik Itu Luka mendapat penghargaan World Reader's Award pada 22 Maret 2016 lalu di Hongkong. Bendera Eka Kurniawan kian berkibar gemilang, novelnya yang lain Lelaki Harimau berhasil masuk dalam 13 nominator novel fiksi terbaik versi The Man Booker International Prize 2016.
Kedua novel ini sudah diterjemahkan ke beragam bahasa asing. Dia mengikuti jejak sang idola Pramoedya Ananta Toer yang karya-karyanya telah diterjemahkan sejak tahun 60an sampai sekarang. Eka memang mengagumi dan dipengaruhi sosok Pramoedya. Bahkan Benedict Anderson menyatakan bahwa setengah abad setelah Pramoedya telah lahir penerusnya.
Sejumlah tahun yang lalu, dalam sebuah perbincangan sekilas di teras sebuah penerbitan di Yogyakarta, siang hari, Eka Kurniawan mengujarkan, justru lebih senang menggunakan mesin ketik manual daripada komputer. Karena bunyi ketukan tak tik tuk yang dihasilkan menjadi musik magis mengiringi imajinasi yang berlompatan di pikiran. Tak tik tuk itu tidak hadir ketika memencet keyboard komputer. Saya tidak tahu apakah Eka Kurniawan sekarang masih tetap menggunakan mesin ketik tak tik tuk dalam menghasilkan karya-karya masterpiecenya.
Cantik Itu Luka memang pernah dibedah dalam kegiatan yang didesain seperti pengadilan. Si pemilik naskah layaknya seorang terdakwa di pengadilan harus bersedia dihujani kritik dan masukan untuk karya. Tentu tujuannya agar karya itu kekuatannya menjadi semakin kuat, dan jika masih ada kelemahannya bisa diperbaiki, sehingga benar-benar hebat ketika diterbitkan sebagai sebuah buku.