Mohon tunggu...
Parhorasan Situmorang
Parhorasan Situmorang Mohon Tunggu... Penulis - Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mangunwijaya Sendiri Adalah 'Buku'

20 Mei 2016   20:24 Diperbarui: 20 Mei 2016   20:29 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Sebuah Catatan untuk Buku Rumah Mangun Berpagar Piring)

Mangunwijaya menulis banyak buku. Namun Mangunwijaya sendiri adalah ‘buku’. Mencerna dan menyerap inspirasi dari buku karya Mangunwijaya memang dengan membaca (tanpa tanda petik). Sedangkan untuk ‘membaca’ Mangunwijaya sebagai buku, yaitu, ya dengan menulis! Sebanyak-banyaknya buku yang pernah ditulis oleh Mangunwijaya, Anda masih dapat menghitung berapa total jumlah halamannya. Tetapi ‘buku Mangunwijaya’, Anda akan kesusahan menghitung berapa total jumlah halamannya, barangkali ratusan ribu halaman, barangkali bahkan jutaan halaman.

Menelusuri jejak sosok Mangunwijaya, kita mendapatkan bahwa melalui membaca dia mendapat pencerahan. Tatkala kecil, setelah menamatkan SD dia sudah berkutat dan dicerahkan oleh buku Max Havelaar karya Multatuli yang membekas sampai dia menjadi novelis. Membaca memberi pencerahan, apalagi dengan menulis. Menulis melipat gandakan cahaya inspirasi yang mencerahkan. Karena membaca belum tentu menulis. Sementara menulis sudah pasti membaca. Dengan membaca Anda hanya membaca ‘dalam’ hati. Dengan menulis, Anda membaca ‘dengan’ hati.

Sebagaimana Mangunwijaya mengalami banyak ‘kawah candradimuka’ (termasuk ketika dia menulis buku) yang menempah suara hatinya, buku Rumah Mangun Berpagar Piring bertujuan menjadi kawah candradimuka kecil yang turut menempah suara hati anak-anak muda. Sebagaimana Mangunwijaya tatkala menulis selalu berupaya sepenuh hati sepenuh pikiran total supaya tulisannya bukan kumpulan kalimat ‘kosong’, maka buku ini juga hadir bukan sebagai kumpulan kalimat ‘kosong’ yang ‘memenuhi’ halaman buku.

Sebuah kultwit dari @HandryGE - Handry Satriago, Senin, 3 November tahun 2014 bercuit, “Satu hari di akhir tahun 80an, terbitlah buku Romo Mangun yang berjudul Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa. Buku ini dahsyat! Buku tersebut membuat saya belajar tentang ‘Berefleksi’ melihat sesuatu dan berpikir tentang kejadian yang saya alami di negara saya.”

Kultwit itu sudah menjelaskan betapa dasyatnya pengaruh membaca tulisan seorang tokoh. Yakinlah, jauh lebih dasyat pengaruh ‘membaca’ seorang tokoh. 

Buku-buku yang ditulis Mangunwijaya dapat Anda baca sampai selesai, tuntas! Namun ‘buku Mangunwijaya’ tidak akan pernah bisa selesai Anda baca. Menulis tentang Mangunwijaya membantu Anda membaca lebih banyak isi ‘buku Mangunwijaya’. Sekali lagi, membaca tulisan Mangunwijaya (baca tokoh-tokoh), Anda meraih inspirasi yang dasyat! Namun menulis tentang tokoh-tokoh, Anda mendapat inspirasi yang berlipat dasyat!!

Itulah alasan-alasan mengapa anak-anak muda HARUS menulis SANG TOKOH, tidak cukup cuma membaca buku yang ditulis SANG TOKOH.

***

Rumah Mangun Berpagar Piring

Empat kata, RUMAH MANGUN BERPAGAR PIRING ternyata mampu menjadi episentrum yang memicu íngatan’ dan ‘imajinasi’ mengalirkan kalimat-kalimat dengan beraneka warna makna. Sejujurnya sedari awal tidak diduga bakal bisa berpijar menjadi tulisan yang memiliki banyak ragam makna. Oleh anak-anak muda empat kata kunci itu diolah menjadi kumpulan inspirasi berkaki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun