Mohon tunggu...
Parhorasan Situmorang
Parhorasan Situmorang Mohon Tunggu... Penulis - Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haul ke 18: Romo Mangunwijaya, Mayor Isman, dan Monseigneur Soegijapranata

10 Februari 2017   18:46 Diperbarui: 10 Februari 2017   21:35 1614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Romo Mangunwijaya salah seorang tokoh besar Indonesia (Foto: dok. pribadi)

Hari Senin Wage 22 Juli 1963, Monseigneur Albertus Soegijapranata wafat dalam pelukan sang murid kesayangannya: Romo Mangunwijaya. Sang Pahlawan Nasional wafat di Susteran Pusat Penyelenggaraan Ilahi di Heerlen negeri Belanda. Sang guru seolah-olah menunggu untuk berpamitan dari sang murid yang sekitar satu jam sebelumnya datang dari Jerman.

Berselang hampir 36 tahun kemudian, hari Rabu Legi 10 Februari 1999, Mangunwijaya wafat di pelukan Mohamad Sobary, salah seorang sahabat baiknya. Dia wafat sebagaimana keinginannya “sebagai guru sekolah dasar, ketika sedang dalam tugas, di antara orang-orang yang menyayanginya, di antara manusia lintas suku agama ras dan antar golongan, dan tidak terlebih dulu merepotkan oranglain.”

Soegijapranata adalah sosok berpengaruh besar bagi Mangunwijaya. Dia merupakan figur pembeda  kedua yang ikut mengubah perjalanan sejarah hidup Mangunwijaya.

“Soegijapranata paling berkesan bagi saya. Beliau guru saya. Kalau harus menyebut guru-guru saya yang berpengaruh, nama pertama yang saya sebut adalah Soegijapranata. Saya jadi begini, antara lain, juga oleh hikmah-hikmah pelajaran yang saya terima dari beliau.”

Uskup Soegijapranata yang membaptis Mangunwijaya menjadi romo tahun 1959. Tahun itu juga dia memberi tugas kepada Mangunwijaya untuk belajar arsitektur. Kala itu Vikariat Semarang sedang membangun banyak gereja, dan memerlukan seorang imam yang juga ahli dalam pembangunan. Sebagai persiapan Romo Mangun mulai memasuki Institut Teknologi Bandung (ITB). Berada satu tahun di Bandung dia kemudian bertolak ke Aachen Jerman pada tahun 1960.

Tugas belajar arsitektur di Jerman menghadirkan bukan sekedar ilmu arsitek yang menjadi ‘kesaktiannya’ dalam berkarya. Namun menghadirkan ‘momen berlian’ yang kelak berpengaruh signifikan dalam jejak pengabdiannya. Karena di sini dia bersua dengan dua sosok yang kelak menjadi bagian pengambil kebijakan di Republik Indonesia tercinta: B. J. Habibie (Presiden Republik Indonesia ke 3) dan Wardiman Djojonegoro (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat Romo Mangun mulai mengeksplorasi konsep pendidikannya).

Kedua orang ini menjadi sahabat dekatnya. Saking dekatnya, kepada B. J. Habibie Romo Mangun menyapa Mas Rudy. Sebuah sapaan yang menandakan kedekatan. Sementara Wardiman pernah berkunjung ke SD Eksperimental Kanisius Mangunan, ini sekolah yang didirikan Romo Mangun berada di desa, padahal sekolah di kota saja jarang punya kesempatan mendapat kunjungan dari seorang menteri.

Figur pembeda pertama

Mayor Isman, komandannya ketika menjadi anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) merupakan sosok lain yang mengubah sejarah hidup Mangunwijaya. Tatkala selesai berperang dan keluar dari hutan, Mangunwijaya mendengar pidato Mayor Isman yang justru di telinganya terdengar jauh lebih berdentam bertalu-talu dibanding suara dentuman meriam tentara Belanda. Gaung pidato itu dia bawa sampai ke rumah, ke bilik tidurnya, membuatnya tidak bisa tidur, memaksanya mengubah haluan hidup, dan memproklamasikan keinginannya untuk total mengabdi bagi nusa bangsa tercinta. Terutama menemani rakyat kecil dan mereka yang terpinggirkan. 

Gaung pidato sang komandan memicu gelora di nuraninya dan tekad bulat di jiwanya. Gaung itu tidak hanya bergema di bilik tidurnya, tidak berhenti dalam satu dua hari lalu menguap, tetapi terus mengalir. Mengalir deras membahana merobohkan semua cita-cita dan cintanya yang tumbuh terdahulu di benaknya. Itu terus mengalir semasa hidupnya dan terus bahkan sampai ketika dia masih mengemban tugas menyumbangkan pikiran dalam seminar perbukuan “Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru” tanggal 10 Februari 1999, hari Sang Burung Manyar wafat. Sejak mendengar pidato itu, Mangunwijaya bukan lagi orang yang sama dibanding sebelum mendengar pidato.

Mayor Isman dan Monseigneur Soegeijapranata, dua sosok hebat yang berkontribusi membentuk komitmen hebat Romo Mangun dan membangun kualitas dirinya menjadi, sebagaimana ucapan Gus Dur, “Romo Mangun itu salah seorang Bapak Bangsa Indonesia. Dia patut mendapat kehormatan semestinya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun