Mohon tunggu...
Parhorasan Situmorang
Parhorasan Situmorang Mohon Tunggu... Penulis - Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mencurigai Tulisan Ajaib Anak SD

2 Juli 2018   02:54 Diperbarui: 2 Juli 2018   12:14 2531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: depositphotos.com

Hanya ada 3 penyebab ketika anak sekolah dasar bisa menghasilkan tulisan di atas rata-rata. Pertama, dia anak jenius. Kedua, dia sudah cukup lama berproses kreatif. Proses kreatif di sini meliputi jam terbang menulis dan jam terbang membaca. Ketiga, gabungan antara jenius dan jam terbang berproses kreatif itu. Di luar ini layak dipertanyakan, bahkan dicurigai. Terutama yang layak dicurigai editor terlalu dominan mengintervensi isi tulisan.

Sebuah cerita pendek diberikan kepada 15 orang untuk dibaca. Nama dan identitas penulis sengaja ditutup. Kemudian 15 orang itu membaca penuh perhatian dan mereka berdecak. Cerita pendek itu menarik, temanya tidak klise, alur ceritanya mengalir, runtut, penuh jebakan batman, akrobatik bahasanya luar biasa. Mereka semua sepakat menganggap itu karya seorang anak SMA, sebagian lagi menduga itu tulisan anak kuliah. 

Sesudah penutup nama dibuka baru diketahui bahwa penulisnya ternyata anak sekolah dasar kelas 4. Ini mengejutkan bagi semua pembaca tadi. Seraya masing-masing diliputi pikiran-pikiran apakah benar anak SD kelas 4 itu penulisnya? Inilah gambaran yang dimaksud karya di atas rata-rata, tulisan ajaib anak SD.

Tatkala bertemu karya yang sedemikian maka yang pertama dilakukan adalah mencari tahu profil si anak. Apakah dia jenius? Bagaimana jam terbang proses kreatifnya? Apabila dia tidak memenuhi minimal salah satu faktor ini berpotensi bahwa itu bukan karyanya sendiri.

Salah satu cara mengajak murid SD berproses kreatif yang menyenangkan yaitu berlatih menulis seraya melukis. (Foto: dok. pribadi)
Salah satu cara mengajak murid SD berproses kreatif yang menyenangkan yaitu berlatih menulis seraya melukis. (Foto: dok. pribadi)
 Ada banyak spekulasi yang muncul. Boleh jadi si anak mencontek karya orang lain dan dimodifikasi. Boleh jadi itu terilhami setelah si anak saban hari menonton sinetron di televisi. Boleh jadi campur tangan orang dewasa (baca: orangtua si anak), dan atau intervensi terlalu dominan dari editor.

Tentu menuduh sembarangan tidak boleh, tetapi mencurigai tidaklah dilarang. Karena mencurigai adalah bagian mekanisme mengawal kualitas tulisan anak-anak.

Persoalan ini penting dimunculkan karena ada sekolah yang menerbitkan buku antologi tulisan murid-muridnya. Apakah salah? Tentu tidak salah, bahkan ini bagus sebagai upaya alternatif kreatif berliterasi. Menjadi masalah apabila ujug-ujug pada antologi itu bertaburan karya-karya ajaib anak. Sekolah idealnya terlebih dahulu menyelenggarakan pembinaan proses kreatif berkesinambungan. Setelah itu hasil mengikutinya dan ketika mencapai level kualitas ajaib bukan sebagai intervensi editor.

Pengalaman bersama Raudal Tanjung Banua sebagai juri
Beberapa tahun lalu saya menggagas lomba menulis puisi anak kategori sekolah dasar dan SMP se-Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurinya adalah Raudal Tanjung Banua (sastrawan nasional). Ada sebuah karya yang sangat memukau (artinya di atas rata-rata). 

Tentu panitia tidak tergopoh-gopoh menuduh. Berusaha bijak panitia mencari tahu apakah ada puisi sejenis yang pernah diterbitkan di berbagai media baik surat kabar, majalah, atau buku. Panitia tidak dapat menemukan bukti. Kemudian panitia berusaha berjumpa dengan si anak untuk berdialog. Sampai batas waktu pengumuman panitia belum dapat berjumpa dengan si anak. 

Raudal Tanjung Banua sebagai juri mengatakan (meskipun tetap mempertanyakan) supaya tetap diikutkan. Sesudah proses penjurian, karya ajaib ini terpilih sebagai juara. Sejauh kita tidak dapat membuktikan kecurigaan sebaiknya dianggap itu karya orisinal si anak. Inilah pilihan paling bijak. Apabila nanti ada orang yang memprotes setelah pengumuman, panitia sudah bisa menjawab bahwa sudah berusaha menelusuri puisi itu.

Pengalaman menjadi juri nominator kerjasama dengan suratkabar daerah
Saya pernah menjadi ketua juri seleksi nominator lomba Menulis Surat untuk Ibu. Lomba ini memang dirancang berlangsung selama 6 bulan. Mengapa? Karena panitia tidak sekadar latah membikin lomba-lombaan. Ada tujuan utama yang diinginkan, yaitu memantau, menemukan, dan kemudian membina pelajar berbakat.

Selama rentang 6 bulan itu para peserta boleh mengirimkan karya ke panitia. Setiap minggu akan dipilih 3 karya terbaik. Tiga karya yang terpilih setiap minggu akan dimuat pada rubrik anak-anak di halaman suratkabar dan mendapat honor tulisan. Selain itu otomatis lolos sebagai nominator untuk memperebutkan juara utama pada grand final.

Berbeda dengan lomba pada umumnya yang membatasi interaksi panitia dan juri dengan peserta, panitia lomba ini justru mengejar peserta yang potensial untuk berinteraksi karena lomba ini bukan sekadar mencari juara. Melainkan menemukan potensi-potensi yang jika dibina dapat menghasilkan kemampuan hebat. Rentang lomba selama 6 bulan memang bertujuan memantau bakat anak-anak. Jadi panitia tidak sekadar menilai karya melainkan menemani dan membina anak-anak yang karyanya belum terlalu bagus tetapi punya potensi.

Selama rentang 6 bulan tersebut panitia menemukan banyak kejutan-kejutan karya ajaib disesuaikan dengan usia mereka. Ada beberapa karya yang "jenius" atau ajaib. Menyikapi penemuan ini panitia mencoba mekanisme paling pas, yaitu menghubungi orang tuanya dan minta bertemu langsung dengan si anak. Pada saat berbincang-bincang langsung dengan si anak, kita bisa mengukur dan menimbang apakah karya itu orisinal atau palsu. Ternyata ada orang tua yang susah diajak bekerja sama. Pilihannya adalah tidak meloloskan karya itu atau tetap meloloskannya dengan berpikir positif bahwa itu adalah karya si anak. Kita memilih tetap meloloskannya.

Ada pengalaman menarik ketika panitia menyosialisasikan lomba ini ke sejumlah sekolah. Panitia membawa contoh karya anak yang sudah terpilih menjadi nominator dan dimuat di surat kabar, termasuk ada yang kategori karya ajaib murid kelas 2 SD. Seorang kepala sekolah mempertanyakan karya ajaib itu. Menurut dia yang berlatar belakang psikolog itu, anak kelas 2 SD belum mampu menulis sebagus itu. Panitia berargumen bahwa kita juga sebenarnya berpikir seperti si ibu kepala sekolah. 

Namun kita berprinsip apabila belum bisa membuktikan bahwa itu bukan karya si anak sendiri, misalnya dibuatkan orang tua (karena dikirim via pos dari luar kota Yogyakarta), maka kita tetap menominasikan sebagai karya yang baik. Panitia sudah berinteraksi dengan orang tua si anak via telepon. Kita berpegang pada kata-kata si orang tua. Kita anggap sang orang tua jujur. 

Meskipun memaklumi argumentasi panitia, sang kepala sekolah mengambil keputusan untuk sementara siswa dari sekolahnya belum bisa ikut. Kata kepala sekolah, dia tetap tidak percaya bahwa anak SD kelas 2 sudah bisa menulis surat dengan logika sebagus itu.

Memang ada orang tua (kakek salah seorang peserta) yang pada akhirnya mengakui justru setelah karya itu dimuat di surat kabar. Katanya itu memang dibuatkan si kakek sendiri karena ingin melihat cucunya bisa muncul di surat kabar. Kita memaafkan sang kakek meskipun tindakan itu telah mengambil jatah peluang peserta yang lain. Sebenarnya, sebelum memutuskan meloloskan sebagai nominator, panitia sudah meminta bisa bertemu langsung atau berbincang (wawancara) via telepon. Karena melalui wawancara dengan si anak, sebenarnya bisa dideteksi apakah karya ajaib itu orisinal tulisan si anak. 

Namun kakeknya berulang kali dengan berbagai alasan menghindari interaksi panitia dengan si anak. Maka yang bisa dikonfirmasi via telepon adalah si kakek. Tentu panitia memilih mempercayai kata-kata si kakek.

Pengalaman saya menemani dan membina proses kreatif anak SD, SMP, SMA, sampai anak kuliah memberi kesempatan memahami seperti apa sebenarnya riilnya kemampuan mereka. Ya itu tadi, hanya ada tiga penyebab jika ada anak SD yang bisa menulis ajaib.

Sebagai saran sebaiknya tidak melakukan intervensi terlalu dominan memodifikasi isi dari tulisan anak-anak. Sebaiknya ajaklah mereka berproses kreatif dengan tekun, riang, dan menyenangkan. Maka tulisan karya mereka bisa level tinggi meskipun bukan jenius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun