Mohon tunggu...
Parhorasan Situmorang
Parhorasan Situmorang Mohon Tunggu... Penulis - Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kritik Itu Pasti Konstruktif

13 Maret 2017   08:16 Diperbarui: 15 Maret 2017   00:00 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya memahami akar kata kritik sesudah membaca sebuah buku filsafat ringan belasan tahun lalu. Saya lupa judul bukunya namun semenjak itu telinga saya terasa gatal atau mata saya terusik apabila mendengar atau membaca mantra sejenis ini: “Saya senang dikritik asal kritik yang konstruktif.”

Baik masyarakat umum dan pejabat acap mengucapkan kalimat serupa. Bahkan kalimat yang mirip pernah diucapkan seorang mantan pemimpin negeri ini.

Kemudian di awal bulan Januari 2017 yang lalu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dikutip oleh media massa, mengatakan bahwa menyampaikan kritik terhadap pemerintah harus secara konstruktif.

Apabila ada yang konstruktif berarti ada kritik yang destruktif. Apakah memang ada kritik yang tidak konstruktif? Apakah ada kritik yang merusak? Sebenarnya tidak ada kritik yang destruktif. Kritik itu niscaya konstruktif, sesuatu yang membangun. Apabila tidak membangun, itu dipastikan bukan kritik. Boleh jadi itu cacian atau bermaksud mengejek, meremehkan atau semacam kecaman.

Pada buku filsafat ringan yang saya baca itu serta di dalam banyak literatur lainnya mengkonfirmasi bahwa akar kata kritik bertunas dan tumbuh dari kata krinein. Berasal dari bahasa Yunani, krinein berarti menilai, membandingkan,  mempertimbangkan. Kata krinein menjadi bentuk dasar bagi kata kreterion (dasar pertimbangan, penghakiman). Orang yang melakukan pertimbangan/penghakiman disebut krites yang berarti hakim. Bentuk krites inilah yang menjadi dasar kata kritik. Hakekat seorang hakim adalah jujur, adil, dan bijaksana. Karena menjadi “hakim” maka seseorang ketika mengritik haruslah menyampaikan, baik sisi kekuatan (kelebihan) maupun sisi kelemahan (kekurangan) sebuah karya atau tindakan orang yang dikritik. Selain itu, perlu menggarisbawahi tebal-tebal makna lengkap dari krinein bahwa di dalam sebuah kritik itu pasti ada saran. Saran itu satu paket dengan kritik. Saran adalah perkakas kritik. Maka kurang elok ketika masih menyebut istilah “kritik dan saran”.

Akar kata krinein menyadarkan kita apabila mengritik kebijakan seseorang, misalnya, maka kita harus menjelaskan keseluruhan bukan cuma sisi lemah, tetapi juga sisi kuat dan pada muaranya diharuskan memberi saran sebagai solusi. Karena kritik bukan memuaskan pribadi sipengritik melainkan untuk kepuasan orang yang dikritik. Puas karena dia bisa memperbaiki diri dan perbuatan atau kebijakannya.

Penggunaan kata kritik ditemui di berbagai bidang terutama meluas di bidang sastra. Pada dunia sastra dijabarkan bahwa ada 3 manfaat kritik sastra. Manfaat bagi penulis, bagi pembaca, dan bagi perkembangan sastra. Termasuk disebutkan menyuburkan tumbuhkembangnya motivasi untuk menulis. Membuka mata hati dan pikiran pembaca akan nilai-nilai yang terdapat dalam sastra. Mendorong laju perkembangan sastra baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Serta memperluas cakrawala ketika mengupas permasalahan yang ada dalam karya sastra. Jadi episentrumnya adalah manfaat positif. Itu artinya sebuah motivasi membangun. Bukan bermaksud negatif, mengganggu, apalagi merusak.

Penting pula untuk dicatat, di abad ke 18 seorang dramawan Jerman Gothe merumuskan tiga prinsip dasar kritik drama. Prinsip ini kemudian berlaku pada kritik sastra pada umumnya dan bisa diadopsi untuk ukuran di bidang apapun di luar sastra. Ketiga prinsip itu dirumuskan dalam 3 pertanyaan. Apa yang hendak dikerjakan oleh seniman? Baikkah sang seniman mengerjakan itu? Apakah hal itu pantas dilakukan? Tiga pertanyaan itu menegaskan kritik wajib bermuatan saran. Ini menjelaskan mengapa yang ada istilah “kritik sastra”, bukan “kritik dan saran sastra”.

Prinsip mengenai ukuran, prosedur, dan dampak manfaat sebuah kritik yang dipahami di dunia sastra seyogyanya diadopsi dibaluri semangat yang sama untuk bidang di luar sastra. Termasuk untuk menilai kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin.

Kritik itu jujur

Kritik bukanlah kata-kata sekedar menjadi senjata meninggikan diri sendiri dengan merendahkan diri oranglain. Sebelum mengkritik kita memperkaya informasi dan memperbanyak sumber bacaan. Lalu merumuskan dengan hati jernih riang gembira tanpa apriori dan gejolak emosi ketika menyampaikan kritik kepada seseorang. Sehingga kritikan kita itu dipastikan adalah sebuah kritik bukan sejenis baper tidak beraturan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun