Romo Mangun tinggal di situ, sendirian. Dia tidak dikurung kesunyian. Dirinya menyukai tempat dekat air seperti itu, teduh dan berada di antara warga, bukan di gedung berdinding tembok tertutup. Dari jendela jungkat kadang Romo Mangun melempar pandang menyeruput permukaan air Kali Code mengalir teduh. Aliran itu lalu terjatuh ketika tiba di sebuah air terjun dangkal di dekat situ, sayup-sayup mengirimkan musik gemericik sejauh masa ke telinga.
Waktu pun mengalir apa adanya, berselang 2 bulan, buku Sastra dan Religiositas naik cetak, dan beredar. Tahun 1982 juga buku ini mendapatkan penghargaan pemenang hadiah pertama dari Dewan Kesenian Jakarta untuk kategori esai.
Lalu, pada tahun 1983, sesudah 4 tahun proses penulisannya, buku Ikan-IkanHiu, Ido, Homa mulai memasuki rak-rak toko buku di seantero nusantara. Memasuki hati, memasuki pikiran para pembaca yang menyambut antusias ceria gembira riang tiada terkira.
*
Puluhan tahun berlalu, kini zaman digital sangat canggih di bawah sang lampu neon bersinar terang benderang di temani kopi dan camilan, seharusnya generasi Y dan Z bisa berduyun-duyun melampaui atau setidaknya menyamai novel yang ditulis di bawah sinar lampu petromaks di bawah jembatan.
Bukan asyik memboroskan waktu mengetik hoax, berita mengada-ada, dan sepupu-sepupunya. Memboroskan uang. Cuma menjadi konsumen. Bukan terlena me-latte factor-kan diri, ketagihan ber-sosmed ria, bercengkerama, berleha-leha, berhela-hela, berhelo-helo, berhola-hola, tanpa sadar menjadikan teknologi sebagai berhala. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H