Letnan Jenderal TNI purnawirawan Tahi Bonar Simatupang tidak sempat mengapresiasi secara langsung buku Saya Adalah Orang yang Berhutang, sebuah kumpulan karanganpenghormatan memaknai ulang tahunnya yang ke-70 pada 28 Januari 1990. Pak Sim, demikian panggilan akrabnya, telah wafat pada 1 Januari 1990. Karena itu, dia diwakili sang isteri, Sumiarti Budiardjo. Buku itu memuat karangan yang ditulis 45 tokoh dari 85 orang yang diminta panitia.
Sembilan tahun kemudian, pada tahun 1999 Romo Mangun wafat sebelum menerima buku “kado” ulang tahunnya yang ke 70 tahun. Buku yang bersemangat sama berjudul Saya Ingin Membalas Utang Kepada Rakyat. Buku yang sudah dipersiapkan satu setengah tahun dan akan diserahkan sebagai “kado” pada 6 Mei 1999.
Romo Mangun lebih muda 9 tahun dari T. B. Simatupang. Keduanya memiliki kenangan khas dengan Yogyakarta di masa perang kemerdekaan. Pak Sim sebagai salah seorang petinggi tentara dan Romo Mangunwijaya anggota tentara pelajar. Dua orang guru bangsa ini manusia-manusia yang hebat. Keduanya dekat dengan sosok presiden Republik Indonesia, Pak Sim dekat dengan Presiden Soekarno dan Soeharto. Sedangkan Romo Mangun berteman dekat dengan B. J. Habibie dan juga Gus Dur (Romo Mangun tidak sempat menyaksikan sahabat dekatnya ini menjadi presiden).
Pak Sim dan Romo Mangun pun memiliki alur pengabdian yang hampir serupa. Keduanya pernah aktif di tentara dan mengundurkan diri. Kemudian mengabdi di ladang Tuhan dan memutuskan menjadi pelayan rakyat. Mereka menjadi guru dan guru bangsa. Punya banyak “murid” yang hebat-hebat. Sederhana bersahaja dan egaliter, keduanya berwajah teduh dan adem, menyejukkan, kesejukan dan keteduhan itu disebar ke seantero masyarakat.
Kado Buku Untuk Ulang Tahun ke 70
Penerbitan buku merupakan kado istimewa bermutu untuk merayakan ulang tahun tokoh-tokoh hebat. Seperti pada perayaan ulang tahunnya yang ke 65 Romo Mangun mendapat kado bermutu buku Mendidik Manusia Merdeka (Romo Y. B. Mangunwijaya 65 Tahun).Buku ini merupakan penghormatan bagi Romo Mangun dari para sahabatnya, Abdurrahman Wahid dan kawan-kawan.
Sedangkan untuk memberi makna pada ulang tahun ke 70 Pak Sim dan Romo Mangun, para sahabat dari dua tokoh hebat ini juga mempersiapkan kado buku. Meskipun kedua guru bangsa ini tidak sempat menerima langsung kado istimewa itu, kado itu menjadi kado untuk orang-orang muda. Buku-buku tersebut menjadi telaga jernih keteladanan, dan sebaiknya orang-orang muda menyelaminya.
BukuSaya Adalah Orang yang Berhutang
Judul buku Saya Adalah Orang yang Berhutang terdengar agak berlebihan karena Pak Sim adalah pribadi yang jujur bersih. Tetapi hal itu rupanya memang diambil dari ungkapan Pak Sim sendiri, yang tertulis dalam otobiografinya pada ulang tahunnya yang ke-65.
Pada otobiografinya itu almarhum berujar: ”… kita semua tentu pertama-tama berhutang kepada Tuhan. Tetapi hutang kepada Tuhan itu tidak dapat kita bayar. Hanya Tuhan sajalah yang berdasarkan kasihNya dapat menyelesaikan hutang kita kepadaNya. Tuhan menghendaki agar kita membayar hutang itu kepada sesama kita.” Dia juga menyatakan berhutang kepada negara, bangsa, dan masyarakat, kepada TNI, kepada gereja-gereja, kepada agama-agama pada umumnya. Juga kepada kedua orangtuanya.
Buku Saya Adalah Orang yang Berhutang setebal 384 halaman sudah dipersiapkan sejak Oktober tahun 1989. Menurut Samuel Pardede, sekretaris panitia penerbitan buku ini, buku tersebut diterbitkan untuk menghormati pikiran-pikiran Pak Sim, terutama mengenai pembangunan nasional, juga ketokohannya dalam sejarah kita, serta kesederhanaannya.
Di dalam bukuSaya Adalah Orang yang Berhutang dipenuhi oleh tulisan menarik dan menginspirasi. Ada rimbunan komentar tentang pribadi Pak Sim.
Salah satunya tulisan dari Jenderal Leonardus Benny Moerdani (Menteri Pertahanan dan Keamanan saat itu), yang menganggap, Pak Sim sebagai guru dan sahabat dalam perjuangan, yang selalu saja memberikan inspirasi, baik melalui pemikiran maupun karya-karyanya. Pak Moerdani mencatat, betapa dalam perhatian Pak Sim dalam mempersiapkan para calon pemimpin nasional, “… Pak Sim selalu menaruh perhatian dan tidak jemu-jemunya memberikan saran serta kritik melalui tulisan, tatap muka, atau bahkan melalui senda-guraunya yang khas. Bahkan Pak Sim sekaligus memberikan contoh nyata kepemimpinan yang kita idam-idamkan itu, baik selama dalam dinas aktif ketentaraan maupun sesudahnya.”
Menilik yang ditestimonikan oleh Pak Moerdani, kebijakan serupa diselenggarakan oleh Romo Mangun melalui semua sarana dan wahana dia mengevokasi anak-anak muda untuk berada di depan menjadi pemimpin karena yang merubah Indonesia adalah orang-orang muda.
Sedangkan Jenderal Besar A. H. Nasution (Pak Nas) menyampaikan perihal Pak Sim sebagai ahli siasat politik. Pak Nas mencatat kemampuan Simatupang, ketika rekannya itu secara halus berusaha mempertemukan dua tokoh nasional, tokoh militer dan tokoh sipil. Diceritakan oleh Pak Nas: Pak Sim berperan mempertemukan Panglima Besar Soedirman, yang pada 1948 tengah berparade di alun-alun Yogyakarta, untuk bertemu dengan presiden Soekarno di Gedung Agung. Maka, bertemulah kedua tokoh nasional itu, berpelukan, berangkulan. Padahal, ketika itu konon Pak Dirman masih enggan.
Profil Pak Sim sebagai inteletual ABRI digambarkan secara jelas oleh almarhum Pak Soedjatmoko. Dia yang memperlihatkan karangannya, modernisasi, sekularisme, dan kekuasaan, tiga hari sebelum Pak Sim wafat di rumah sakit PGI Tjikini, menggambarkan persahabatan di antara mereka “bagaikan kuntum bunga yang indah”.
Pak Soedjatmoko menulis bahwa Pak Sim dalam karier gandanya sebagai militer, teolog, sekaligus intelektual, secara terus menerus berusaha mempertemukan tiga dimensi kehidupan nasional kita, yaitu modernisasi dan pembangunan; moral dan agama; serta tatanan politik dan peranan militer. Sim secara terus menerus berusaha mempertemukan dimensi moral, keperluan pembangunan, dan pengaturan kekuasaan.
“Dalam usaha ini dia tidak selalu berhasil, karena memang kesenjangan institusional maupun historis dan psikologis tidak mudah dijembatani dalam waktu singkat.”
Pak Sim telah berusaha mempertemukan moralitas dengan politik dan peningkatan kecerdasan bangsa.
Buku Untuk Mengenang Romo Mangun
Pun guna memberi warna inspiratif pada peringatan ulang tahun Romo Mangun yang ke 70, sebuah panitia sudah bersiap menerbitkan sejumlah buku. Romo Mangun wafat pada tanggal 10 Pebruari 1999, namun buku tetap diterbitkan oleh Penerbit Kanisius berjudul Saya Ingin Membalas Utang Kepada Rakyat, dan buku Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Buku yang sedianya sebagai kado ulang tahun ke-70 kemudian dialihkan untuk mengenang Romo Mangun. Selain buku ini, ada delapan judul buku baru yang terbit untuk menandai peringatan 100 hari meninggalnya Romo Mangun pada awal Mei 1999.
Dalam Romo Mangun di Mata Para Sahabat,hadir tulisan dari Abdurrahman Wahid, H. M. Amien Rais, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, Jaya Suprana, dan tokoh-tokoh lainnya. Pada kata pengantar diceritakan, bahwa buku itu sudah dipersiapkan satu setengah tahun dan akan diserahkan sebagai “kado” pada 6 Mei 1999. Ketika panitia datang menghadap menyampaikan gagasan itu, Romo Mangun mengatakan spontan, “Yah, asal usaha ini tidak menjadi kultus individu. Karena yang penting itu bukan saya, tetapi rakyat kecil itu harus diperhatikan.”
Ketika Romo Mangun menanyakan kira-kira buku macam apa dan berapa banyak yang akan diterbitkan, panitia menjawab, “Satu atau dua buku bunga rampai dari para intelektual, para pakar yang berkompeten di bidangnya dan semua tulisan itu dipersembahkan untuk Romo Mangun.”
Termasuk buku lain yang diterbitkan adalah Y. B. Mangunwijaya Pejuang Kemanusiaan berisi tulisan P. Swantoro, Mudji Sutrisno, SJ, Ignatius Haryanto, Bakdi Sumanto, dan H. Datus Lega, dan sejumlah sahabat Romo Mangun lainnya yang notabene para tokoh lintas disiplin ilmu dan melintasi sekat-sekat.
*
Hakekat sebuah buah buku bukanlah kata benda melainkan sebuah kata kerja. Namun buku akan tetap menjadi kata benda apabila kita tidak membacanya, atau jika membacanya namun tidak mendarahdagingkan inspirasi yang menyuburkan perilaku baik dalam kehidupan sehari-hari. Buku menjadi kata kerja jika kita membacanya, menghayatinya, dan mengamalkannya, menjadi enerji gerak yang mengubah peradaban.
Pak Sim dan Romo Mangun sudah merenung, mereka sudah bersaksi bahwa mereka adalah orang orang yang berhutang, dan mereka telah purna menunaikan tugas membalas utang itu. Seyogyanya, sesudah membaca Pak Sim dan Romo Mangun, sebagai murid bangsa orang-orang muda merenung, menyadari, dan bersaksi bahwa, “ “Saya berhutang kepada negara, kepada bangsa, berhutang kepada Pak Sim, berhutang kepada Romo Mangun, berhutang kepada para pahlawan, berhutang kepada masyarakat, berhutang kepada ayah ibu, berhutang kepada sahabat.” Komitmen “saya orang berhutang dan saya ingin membalas hutang-hutangku” menjadi cahaya moral di relung nurani untuk tidak mudah korupsi, tidak gampang mengambil hak rakyat untuk memperkaya diri sendiri, melainkan selalu menjadi bagian dari solusi untuk Indonesia.
John F Kennedy pada tanggal 20 Januari 1961 dalam pidato inaugurasinya sebagai presiden Amerika Serikat yang ke-35, berujar, "Jangan tanyakan apa yang negaramu dapat perbuat untukmu, tetapi tanyakanlah apa yang dapat kamu perbuat untuk negaramu!" Baiklah, maka kepadamu orang-orang muda, jangan pernah bertanya seberapa banyak piutangmu kepada negara. Tetapi bertanyalah seberapa banyak utangmu kepada negara. Kemudian jawablah dengan dedikasi dan berbakti, lengan bajumu singsingkan untuk negara, masa yang akan datang kewajibanmulah, menjadi tanggunganmu terhadap nusa,sebagaimana yang sudah ditunaikan Pak Sim dan Romo Mangun, sang guru bangsa.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H