Tahun 2016 ini proses revitalisasi Malioboro dilakukan. Hal yang serupa pernah dilakukan 43 tahun yang lalu. Sejak awal Agustus 1973 Malioboro mengalami proses pembaharuan. Y. B. Mangunwijaya yang ketika itu adalah Ketua Tim Penyusun Master Plan Kota Yogyakarta termasuk pakar yang terlibat dalam menata Malioboro.
Ketika itu Y. B. Mangunwijaya bersama timnya telah merancang Malioboro memiliki jalur cepat selebar 9 meter. Di kedua sisi jalan Malioboro ada jalur hijau selebar 2½ meter ditambah lagi jalur lambat 4 meter, baru akhirnya setelah itu ada daerah pengaman 1 meter terdapat trotoar. Ini nantinya terletak di bawah atap meneduhi pejalan kaki di siang hari yang terik atau di kala hujan turun.
Kebijaksanaan telah ditetapkan oleh penyusun master plan, bahwa Malioboro tidak hanya diperlebar sebagaimana biasanya, namun demikian tidak seluruh wajah toko “dipotong’’. Kongkritnya hanya bagian bawah toko saja yang diambil untuk trotoar. Sehingga para pemiliknya masih bisa mempergunakan ruangan di atas trotoar tersebut untuk segala kepentingan. Cara seperti ini dikerjakan dengan harapan wajah asli Malioboro tidak akan berubah meskipun jalan telah diperlebar.
Tentu relevan bahkan penting untuk mendengar kembali apa yang diucapkan Romo Mangun perihal Malioboro.
Malioboro Pertama-tama adalah Tanah Lapang, Bukan Jalan
Mangunwijaya ahli tata kota mengingatkan, “Orang cenderung beranggapan bahwa Malioboro pertama kali adalah jalan, baru kemudian tempat bercengkerama. Sehingga atas dasar konsepsi tersebut lalulintas kendaraan harus berkuasa di Malioboro dengan mengorbankan kebutuhan-kebutuhan yang lain.”
Mangunwijaya mengatakan konsepsi tersebut sama sekali terbalik. Dia menegaskan, “Malioboro yang pertamakali adalah tempat bersenang-senang, melihat pemandangan, bercengkerama. Pendeknya sebuah THR (Taman Hiburan Rakyat). Kalaupun di sana kemudian dijumpai kendaraan itu akibat perkembangan yang mengikuti kesibukan tempat tersebut.”
Dia melanjutkan, “Bahwa setiap kota harus memiliki citra (images) tersendiri. Apa yang bisa dibanggakan Indonesia? Wisatawan asing pasti tertawa jika kita pameri jalan Thamrin Jakarta. Mereka memiliki yang lebih hebat. Karena itu sebagai satu hal yang bisa dibanggakan untuk orang luar, konsepsi dasar tentang Malioboro harus tetap dipertahankan. Malioboro bukan sekedar jalan melainkan tempat bercengkerama. Ini mengharuskan pejalan kaki di sana adalah istimewa. Dan lalulintas kendaraan adalah warga kelas di bawahnya. Dalam tahap pertama kendaraan bermotor tetap dipertahankan, tetapi nantinya pejalan kaki, beca, dan andong (kereta kuda) justru yang diberi prioritas.”
Mangunwijaya pun menjelaskan, “Berbeda dengan jalan di manapun juga, jalan raya Malioboro di tengah kota Yogyakarta bukan sekedar “jalan’’ melainkan sebuah alun-alun (lapangan luas di muka Kraton Jawa) yang diperluas. Dengan demikian Malioboro milik seluruh rakyat. Dalam artian tidak hanya untuk orang kaya, pedagang gede atau pembesar saja boleh berada di sana.”
Mempertahankan Bangunan Tradisionil
“Semula disepakati bahwa bangunan yang tradisionil atau dalam bentuk antik dipertahankan. Ini menyebabkan bangunan bentuk modern tidak usah didirikan. Karena bagaimanapun juga munculnya tambahan bentuk modern dalam lingkungan tradisonal yang harus dijaga keutuhannya hanya menyebabkan pemandangan kacau.”