Mohon tunggu...
Parfi Khadiyanto
Parfi Khadiyanto Mohon Tunggu... Dosen - pecinta lingkungan hidup dan arsitektur perkotaan

tinggal di semarang

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Yang Muda, yang Korupsi

12 April 2014   16:05 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad bahwa generasi mudalah yang terbanyak melakukan korupsi, perlu kita cermati sebagai peringatan yang serius, meskipun sebenarnya bisa saja dikaji lebih jauh mengapa hal ini terjadi, belum tentu mutlak kesalahan generasi muda. Mengapa demikian? Marilah kita simak kejadian di negeri ini pada era reformasi.

Pertama, saat ini banyak tampil tokoh-tokoh muda yang menguasai segala sudut kegiatan di pemerintahan maupun swasta, dibidang kemasyarakatan maupun militer, ibarat kehidupan keagamaan di negeri ini yang mayoritas beragama islam, maka kalau diketahui ada perilaku menyimpang di masyarakat, kemudian dilihat agamanya apa, tentu kebanyakan dari mereka pasti beragama islam. Hal ini bukan berarti bahwa islam itu identik dengan perilaku menyimpang, tetapi itu hanya kebetulan saja mayoritas penduduk Indonesia beragama islam. Demikian pula temuan ketua KPK Abraham Samad yang menyatakan bahwa generasi muda yang terbanyak melakukan korupsi, bisa jadi memang wilayah yang rawan terhadap terjadi korupsi itu sudah bergeser pemiliknya dari generasi tua ke generasi muda.

Kedua, yaitu proses evolusi yang belum sempurna. Ketika perbaikan birokrasi dilaksanakan, perilaku menyimpang dari pelaku birokrasi juga melakukan evolusi, yaitu perubahan peningkatan kemampuan untuk “ngakalin” berbagai kebijakan agar bisa memanfaatkan peluang berbuat curang untuk kepentingan pribadi dan golongan (korupsi). Ibarat pencuri dengan polisi, masing-masing berevolusi untuk melakukan peningkatan prestasi, polisi membuat pelatihan dan kegiatan-kegiatan guna menangkal pencurian yang semakin canggih, tetapi pencuri juga melakukan peningkatan kemampuan untuk menangkis atau melawasan kecanggiah teknologi dan kemampuan polisi agar masih tetap bisa mencuri. Nah, kalau ini yang terjadi, maka ungkapan klasik yang menyatakan bahwa "Sebaik apa pun orangnya, begitu memasuki sistem dan struktur yang korup, maka dia pasti akan terjebak ke kubangan yang korup juga". Yang saya khawatirkan di sini, bahwa kegiatan korup itu melanda semua kelompok usia, hanya sayangnya, yang muda dan belum berpengalaman saja yang ketahuan dan tertangkap. Sudah barang tentu ini bukan perbuatan yang baik, dan saya tidak ingin mengatakan bahwa kelompok orang tua masih juga melakukan korupsi, ini hanya untuk meluruskan suatu temuan, agar dikaji lebih dalam.

Ketiga, ini yang paling berbahaya, yaitu jangan-jangan memang sistem pendidikan kita itu salah. Hanya mementingkan hasil bukan proses. Sebagai ilustrasi, seandainya ada soal 5x5 = berapa?, maka jawaban yang benar adalah 25. Apakah dalam menilai jawaban dari pertanyaan itu hanya dilihat sisi hasilnya saja, yaitu kalau tidak dijawab 25 maka siswa tidak lulus, atau dilihat juga proses berfikirnya, yaitu 5x5 adalah penjumlahan dari 5+5+5+5+5, maka hasilnya adalah 25. Kalau dari sisi proses, maka ketika siswa sudah menjelaskan prosesnya secara benar, harus dihargai, dia lulus dengan perbaikan, sebab kurang cermat. Sedangkan kalau berorientasi pada hasil saja, guru tidak bisa tahu, apakah angak 25 itu didapat dari nyontek?, atau diberi tahu orang lain, pokoknya karena jawaban sudah 25, maka harus lulus.

Bagaimana sebenarnya dengan pendidikan kita?, kayaknya hanya melihat hasil saja, belum ke arah proses. Pengalaman saya ketika masih punya anak usia SD, ketika dia mengerjakan pekerjaan rumah, bertanya kepada saya, “Siapa presiden RI pertama?”, saya jawab “Bung Karno”. Sore hari sepulang dari kantor, anak saya bilang, “bapak memberi jawaban salah, presiden pertama RI adalah Ir. Soekarno”. Heran juga saya, jawaban anak harus sama persis dengan kunci jawaban guru kelas, apakah ada bedanya antara Bung Karno dengan Ir. Soekarno, antara Gus Dur dengan Abdurrahman Wahid, antara SBY dengan Susilo bambang Yudhoyono? Inilah potret pendidikan kita, hanya melihat hasil saja, prosesnya masa bodoh, yang penting jawabannya benar. Maka wajarlah kalau sudah selesai dari pendidikan, mereka hanya mementingkan hasil, bukan proses. Muda kaya raya, tua foya-foya, mati masuk surga. Tidak tahu proses hidup itu harus bagaimana.

Terlepas dari itu semua, sudah saatnya kita perlu membenahi dan mengembangkan pendidikan karakter, menumbuhkan semangat kepada generasi muda tentang pengabdian luhur, berani meninggalkan budaya korupsi, keberhasilan hidup bukan dari bergelimangnya harta, tetapi dari budi pekerti yang baik. Media masa juga jangan terlalu banyak mengumbar euforia glamor kehidupan mewah. Menjadi kaya adalah hak, tetapi cara menuju ke sana harus dengan etika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun