KDB adalah singkatan dari Koefisien Dasar Bangunan, maksudnya adalah seberapa besar sebuah bangunan boleh didirikan di atas sebuah lahan.
Misal, ada ketentuan KDB = 60%, maka kalau kita punya lahan seluas 100m2, kita hanya boleh membangun rumah atau bangunan di atas lahan tersebut selaus 60m2, tidak boleh melebihi, kalau sampai melebihi berarti sudah melanggar ketentuan aturan KDB yang biasanya termuat dalam IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) atau dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) setempat.
Setiap kota sudah punya aturan dan ketetapan tentang besarnya KDB, biasanya untuk kawasan permukiman diambil angka sebesar 60%, dengan maksud ada open space (ruang terbuka) untuk setiap kaplingnya sebesar 40% dari luas total. Tetapi yang terjadi di permukiman sekitar kita, hampir semua kapling atau lahan permukiman dipenuhi dengan bangunan baru yang berupa garasi, ruang uasaha/toko, atau mungkin tambahan ruang tamu, ruang tidur, dsb.
Pelanggaran terhadap ketentuan KDB pada permukiman ternyata bisa memiliki dampak yang sangat luas untuk fungsi ruang perkotaan, yaitu bisa meningkatkan run-off atau aliran air hujan, sebab lahan yang dulunya berupa ruang terbuka, berubah menjadi bangunan, sehingga mengurangi resapan air ke dalam tanah, dan tanpa disadari hal itu akan berimplikasi pada terjadinya kekeringan, kekurangan air saat musim kemarau.
Secara sepintas ternyata, faktor penentu pelanggaran terhadap KDB berasal dari faktor eksternal dan internal, faktor eksternal memiliki korelasi negatif terhadap tindak pelanggaran, yaitu tidak adanya sanksi yang jelas, luas kapling yang dimiliki, dan kurang fahamnya tentang apa itu KDB (belum ada sosialisasi). Sedang faktor internal memiliki korelasi positif terhadap tindak pelanggaran, yaitu penghasilan, usaha rumah tangga, jumlah anggota keluarga, dan pendidikan.
Pelanggaran yang terjadi, lebih banyak disebabkan oleh ketidak tahuan masyarakat, kemudian tidak adanya sanksi, apalagi kalau lokasi permukiman jauh dari pantauan pengawasan.Â
Faktor lain yaitu banyaknya permukiman yang memiliki luas lantai terbatas, sekitar 36-45 M2, sehingga setelah ditempati pasti akan diperluas oleh pemiliknya, seiring dengan peningkatan dan pertumbuhan anggota keluarga yang menghuni, sebenarnya penghuni bisa melakukan penambahan ruang secara vertikal, tapi hal itu perlu biaya besar, sebab konstruksi bangunan sejak awal tidak disiapkan untuk bangunan dengan 2 atau 3 lantai.
Sebagian besar masyarakat tidak tahu akan kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari pelanggaran terhadap KDB. Sebenarnya masyarakat cukup sadar bahwa dalam bermukim seyogyanya tidak saling mengganggu, akan tetapi pengertian mengganggu ini hanya terbatas pada lingkungan yang kecil (tetangga dekat), belum melihat lingkungan secara luas (kelurahan/ kecamatan/ kota).
Kiranya aparat pemerintah sudah saatnya untuk bekerja secara cerdas, cepat tanggap, dan inovatif, misalnya dalam pemberian ijin pembangunan rumah sederhana dengan luasan yang kecil harus sudah disiapkan kontruksi untuk mengembang ke arah vertikal, tidak harus semuanya, tetapi dipilih dari jenis rumah sederhana yang berpotensi untuk berkembang yaitu dilihat dari harga, lokasi, arah pasar (calon pembeli), dan material yang digunakan.Â
Dari situ bisa diketahui atau diduga tren proyeksi perkembangan permukiman tersebut, dengan demikian perkembangan permukiman rumah sederhana dengan lahan yang kecil tidak harus selalu horizontal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H