Wajar saja jika tahun 2014 dikatakan sebagai tahun politik, berbagai kegiatan politik menarik perhatian masyarakat Indonesia baik secara langsung maupun melalui media. Diawal tahun sampai bulan april pemilu legislatif menjadi bahan perbincangan masyarakat diberbagai ruang diskusi baik formal maupun non formal. Geliat politik pun berlanjut saat memasuki tahapan pemilu Presiden dan Wakil Presiden dipertengahan tahun. Tampilnya dua calon berdampak pada pengelompokan dua kekuatan besar antara koalisi pendukung Prabowo-Hatta dengan koalisi pendukung Jokowi-JK. Kemeriahan suasana politik pilpres kemudian berakhir pada tanggal 22 Agustus 2014 melalui keputusan MK terhadap PHPU Presiden dan Wakil Preiden sebagai babak akhir tahapan pilpres.
Diawal bulan ini, perseteruan politik kembali muncul dalam pembahasan RUU pilkada yang sedang dibahas oleh DPR RI. Adanya ide dari beberapa partai politik yang ingin meniadakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) dengan mengembalikan wewenang pemilihan kepala daerah ke DPRD dengan pertimbangan dampak negatif yang ditimbulkan oleh pelaksanaan pemilukada. Timbulnya konflik horizontal masyarakat, banyaknya kepala daerah yang tersangkut dengan kasus korupsi, disharmoni antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah diakhir masa jabatan karena adanya persaingan untuk kembali mencalonkan, cost pemilukada yang tinggi baik dari calon itu sendiri maupun biaya pelaksanaan oleh penyelenggara (KPUD dan Bawaslu/Panwaslu).
Dampak negatif pemilukada menjadi realita dalam pelaksanaan pemilukada diberbagai daerah yang sudah berlangsung dua periode pemilihan. Namun yang perlu dipahami adalah tidak semua daerah mengalami hal seperti itu, contohnya di Kabupaten Bone pelaksanaan kepemiluan selalu berlangsung lancar, aman dan damai. Dampak negatif pemilukada bagaikan cabang-cabang yang tidak baik pada sebatang tanaman bernama pemilukada yang sudah mulai tumbuh dan mengakar dimasyarakat. Langkah menebang pohon untuk menghilangkan cabang yang tidak baik adalah cara yang tidak tepat dan yang mesti dilakukan cukup memangkas cabang tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, amandamen Undang-undang Dasar 1945 telah membawa perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya terkait dengan pengisian jabatan kepala daerah, dimana pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Pasal ini sangat berbeda dengan pasal 6 A ayat (1) yang berbunyi “Presiden dan Wakil dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Namun kata demokratis pada pasal 18 ayat (4) diartikan sebagai pemilihan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai konsistensi dari sebuah negara yang menggunakan sistem presidensial.
Hal lain yang mendukung kata demokratis diartikan sebagai pemilihan langsung oleh rakyat adalah dihapuskannya tugas dan wewenang anggota DPRD dalam memilih kepala daerah sejak di sahkan UU Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Hal yang sama pada UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau yang lazim dikenal dengan UU MD3, pada pasal 317 ayat (1) “DPRD Provinsi mempunyai tugas dan wewenang ; (d) mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan dan/atau pemberhentian; (e) Memilih wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil gubernur. Begitupun pada pasal 366 ayat (1) “ DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan wewenang ; (d) mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian; (e) memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil bupati/wakil walikota.
Kedua, Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat akan memberikan legitimasi yang kuat kepada kepala daerah yang terpilih sehingga secara langsung memperkuat mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dengan eksekutif. Penguatan checks and balances ini akan menutup ruang transaksi politik dagang sapi seperti pada masa orde baru baik dalam sistem pemerintahan maupun dalam konteks legislasi di daerah .
Ketiga Pemilukada menjadi sarana demokrasi yang memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat baik melalui partai politik maupun perseorangan untuk menunjukkan dirinya sebagai calon pemimpin yang aspiratif dan kompoten yang penilaiannya bermuara pada pelibatan langsung masyarakat untuk memilih. Pada kondisi seperti ini akan memaksa partai politik untuk memaksimalkan fungsi dan tujuan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 2 tahun 2011 tentang perubahan UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Kerja partai politik akan berbeda dalam melahirkan atau mencari pemimpin yang bisa laku di masyarakat dibandingkan dengan pemimpin yang bisa laku di DPRD. Munculnya Presiden terpilih Joko Widodo tidak lepas dari kesuksesannya memimpin daerah yang dilatarbelakangi oleh adanya pemilukada.
Keempat, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilukada tidak bisa hanya diukur dari berapa biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan hajatan tersebut. Kefektifan dan keefisienan pelaksanaan pemilukada lebih ideal bila diukur dari proses pelaksanaan pemilukada yang demokratis dan menghasilkan pemimpin yang baik yaitu pemimpin yang memiliki tanggung jawab besar kepada warganya. Tidak bisa dipungkiri bahwa gaya kepemimpinan kepala daerah sekarang ini yang lebih mengutamakan pelayanan masyarakat secara maksimal tidak lepas dari adanya suara rakyat yang diperolehnya secara langsung dalam pemilukada.
Kalaupun pemilukada dinilai dari besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah maka menurut hemat penulis masih bisa diatasi melalui sistem pemilukada secara bersamaan, misalnya pemilukada gubernur/wakil gubernur bersamaan pemilukada bupati/wakil bupati. Pengalaman ini telah dibuktikan dalam pelaksanaan pemilukada gubernur/wakil gubernur Sulawesi Selatan dengan pemilukada Bupati/Wakil Bupati Bone secara bersamaan pada awal tahun 2013 lalu. Pemilukada ini dilakukan sistem penganggaran subsidi silang antara APBD Pemprov. Sul-Sel dengan APBD Kab. Bone, hasilnya mampu menghemat kedua APBD tersebut dan pemilukada pun berlangsung secara demokratis. Hal yang lain bisa dilakukan adalah penyederhanaan kebutuhan variabel-variabel pemilukada
Kelima, Pelaksanaan pemilukada yang sudah berlangsung dua periode ditengah sedang membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis tentu segala kekurangan sangat mungkin terjadi. Pemborosan anggaran, ketidakprofesionalan penyelenggara tidak lepas dari kekurangan regulasi yang ada. Konflik horizontal masyarakat tidak lepas dari ketidakdewasaan elit politik dan ketidakberhasilan pelaksanaan pendidikan politik dimasyarakat oleh seluruh stakholder. Olehnya itu menutup segala sumber kekurangan adalah jalan terbaik dan memotong kehidupan demokrasi yang mulai tumbuh melalui pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD merupakan langkah keliru bahkan oleh para pengamat politik mengatakan sebagai langkah mundur dalam kehidupan demokrasi.
Kondisi masyarakat kekinian yang membutuhkan keterbukaan dan pelibatan langsung dalam pengambilan keputusan politik termasuk dalam penentuan kepala daerah menjadi tuntutan masyarakat masa kini dan akan datang. Perbaikan regulasi, penguatan independensi penyelenggara melalui seleksi yang ketat, memaksimalkan peran partai politik dalam menjalankan fungsinya dan belajar dari kekurangan yang ada menjadi solusi yang terbaik dalam mempertahankan Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA) sehingga bangsa ini terhindar dari kesan try and try dan from zero to zero.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H