LAWANLAH buku dengan buku. Begitulah judul sebuah artikel yang saya baca di Perpustakaan UKI, Jakarta, sekira 13 tahun silam. Artikel itu ditulis Victor Silaen, seorang dosen ilmu politik yang juga mengajar di almamater saya. Sayang, Victor Silaen telah lebih dipanggil Yang Kuasa, tahun lalu. Pada intinya, artikel itu mengupas tentang bagaimana melawan suatu paham yang dianggap bertentangan dengan paham lain, khususnya sebuah paham yang disebarluaskan melalui media buku. Cukup dengan menerbitkan buku lain sebagai antitesa. Selanjutnya, biarlah publik yang akan menjadi hakimnya. Sehingga upaya pemerintah yang sering menarik buku “hitam” dari peredaran bukanlah cara yang bijak. Itu gaya Orde Baru.
Teori melawan buku dengan buku tersebut, kini teringat kembali, saat Reinhard Pardede pulang kampung setelah 60 tahun berkiprah di luar negeri. Reinhard ingin menapak tilas kehidupan masa kecilnya di Lumban Rau, sebuah desa di Kecamatan Habinsaran, Tobasa, Sumut. Di darahnya masih mengalir budaya Batak: pantang melupakan kampung halaman. Maka Reinhard, bersama kerabatnya, pun mengunjungi kampung halaman tercinta, menggali romantika masa lalu, bercerita dengan penduduk kampung tentang banyak hal. Tentu saja, cerita yang paling dinanti adalah kiprahnya selama “mengasingkan” diri di luar negeri karena dicap buruk oleh rezim Orde Baru.
Reinhard Pardede, yang kini sudah memasuki usia uzur, masih menyimpan banyak kenangan pahit ketika ia dilarang kembali ke Indonesia setelah pecahnya G30S. Ia pun akhirnya memilih menjadi warga negara Belanda. Di negeri kincir angin itu, ia menempuh pendidikan hingga mengantongi gelar doktor ekonomi.
Bagi penduduk Habinsaran, terutama Lumban Rau, Reinhard kini berubah menjadi sebuah inspirasi. Sebuah inspirasi bahwa anak kampung mampu mendunia. Terlepas dari kontroversi PKI, kehadiran Reinhard Pardede di kampung halaman merupakan sebuah kebanggaan. Setidaknya, ia masih merindukan tempat kelahirannya. Meski begitu, catatan perjalanan Reinhard Pardede rasa-rasanya perlu dituliskan sebagai warisan berharga bagi generasi muda. Sejarah Reinhard perlu dibukukan untuk melawan buku-buku yang sudah terlanjur melekat di banyak kepala.
Welcome Home, Reinhard Pardede.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H