BELUMÂ lama ini, politisi PDIP sekaligus anggota DPR Trimedya Panjaitan meluncurkan dua buku sekaligus. Judul buku dengan kata pengantar Megawati Soekarnoputeri itu adalah "Banteng Senayan dari Medan", serta "Parlemen dan Penegakan Hukum di Indonesia", dengan kata pengantar dari Puan Maharani. Menurut Trimedya, selama 15 tahun mengabdi sebagai anggota DPR, ia telah merampungkan 9 buah buku. Sebuah prestasi yang layak diapresiasi.
Namun, tulisan ini bukanlah ingin membahas tentang isi buku itu. Tetapi lebih pada kenyataan di lapangan, apakah buku tersebut, terutama Banteng Senayan dari Medan, betul-betul seperti aslinya. Bukan pula ingin menghakimi, tetapi hanya sekadar berharap. Itu saja.
Baiklah, tulisan ini harus diakui sangat subjektif, meski berlandaskan pada informasi aktual, pengamatan, maupun rasa memiliki yang sangat tinggi terhadap kampung halaman. Trimedya memang bukan lagi "milik" orang Medan, tetapi sudah kepunyaan bangsa. Lebih spesifik lagi, Trimedya bukanlah hanya anggota DPR yang salah satu daerah pemilihannya adalah Kecamatan Habinsaran, Borbor, Nassau (Habornas) di Kabupaten Tobasa, Sumut. Ia terpilih dari wilayah yang lebih luas yakni terdiri dari 19 kabupaten/kota di Sumut yang masuk dalam Daerah Pemilihan 2. Jangkauannya bahkan sampai Kepulauan Nias.
Sebagai catatan, masyarakat di Habornas hingga kini masih satu ikatan psikologis meski telah terbagi tiga, dengan Habinsaran sebagai kecamatan induk, beribukota di Parsoburan. Sebagai ibukota, Parsoburan masih menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan di seluruh wilayah Habornas. Terutama tentang pembangunan infrastruktur.
Ironisnya, pembangunan infrastruktur terutama jalan yang menghubungkan Parsoburan ke wilayah luar masih sangat terbatas, kalau tidak boleh dibilang miris. Apa boleh buat, akses masuk-keluar Parsoburan memang hanya satu pintu, melewati tetangga Kecamatan Silaen untuk seterusnya bisa melanjutkan perjalanan ke kota lain seperti Balige ataupun Medan. Jangankan akses masuk-keluar, di Parsoburan sendiri yang menyandang status ibukota, jalanan masih banyak berlubang sana-sini.
Buruknya jalan di Parsoburan selalu terbentur pada masalah klasik, yakni bahwa jalan tersebut berstatus Jalan Provinsi, hingga menjadi senjata ampuh Pemkab Tobasa untuk melepaskan tanggung jawab. Di sisi lain, Pemprov Sumut berkilah, anggaran masih seret dan berharap masyarakat di Parsoburan untuk terus bersabar.
Padahal, wilayah Habornas merupakan salah satu penghasil komoditi kopi, beras, kemenyan, serta kelapa sawit yang cukup banyak telah menyumbang pendapatan asli daerah Tobasa. Bahkan saat ini, proyek PLTA 3 x 13 MW pun sedang dibangun di Kecamatan Nassau, yang otomatis seluruh peralatan berat perusahaan juga mau tidak mau melintasi Parsoburan, sebagai satu-satunya akses masuk.
Lalu, kenapa harus berharap kepada Trimedya Panjaitan? Tak lain dan tak bukan, karena Trimedya sangat rajin menyambangi Parsoburan setiap lima tahun sekali, yakni ketika musim Pemilu tiba. Dalam catatan saya, Trimedya berkunjung ke Parsoburan pada 2009 dan 2014 lalu. Meminta simpati dan dukungan masyarakat, yang dibalut dengan acara makan-makan plus syukuran. Begitu terpilih, rasa-rasanya Trimedya tidak lagi pernah berkunjung ke Parsoburan.
Walau begitu, masyarakat Parsoburan tidak berkecil hati, mengingat daerah pemilihan Trimedya memang sangat luas. Masa reses selama menjadi anggota Dewan mungkin saja tidak lagi terbagi bila harus mengunjungi satu-persatu wilayah pemilihannya. Kemungkinannya, kegiatan masa reses dipusatkan di ibukota kabupaten, atau wilayah yang memang mudah dijangkau.
Tetapi, bila boleh berharap, sudilah kiranya Trimedya melakukan blusukan sesekali ke Parsoburan. Lihatlah secara langsung bagaimana jalanan "berlumpur" persis di depan rumah penduduk. Jangan tanya kenapa tidak ada upaya swadaya masyarakat untuk menambal-sulam jalanan itu, semua sudah dilakukan. Tetapi, alat berat yang wara-wiri dengan mudah meremukkan perbaikan seadanya itu.
Jangan kau tanya pula bagaimana usaha pemuda-pemudi Habornas di tanah rantau terutama Jabodetabek. Semua sudah digalang, tetapi selalu terbentur pada tembok birokrasi. Sudikah engkau mendobrak tembok yang maha tebal itu?