RESHUFFLE Kabinet Kerja kembali berhembus kencang usai kekalahan Ahok di Pilgub Jakarta. Banyak yang menduga—akibat dinilai sangat dekat dengan Presiden Jokowi—Ahok akan diangkat sebagai menteri. Sejumlah prediksi pun bermunculan, paling banyak berharap Ahok didapuk sebagai Mendagri, tetapi tak sedikit pula menantikan Ahok menjadi Ketua KPK.
Untuk posisi terakhir ini, agaknya sulit terwujud, lantaran pimpinan KPK haruslah melewati proses panjang di DPR termasuk berwenang mengetok palu siapa yang layak jadi komisioner antikorupsi itu. Padahal kita tahu, Ahok ibarat “racun” bagi kalangan DPR, kehadirannya sangat sulit diterima politisi Senayan. Secara administratif pun, Ahok akan terganjal dengan persyaratan kewajiban bergelar sarjana hukum bagi mereka yang ingin menjadi pimpinan KPK.
Nah, yang paling mungkin saat ini bagi Jokowi adalah memberikan posisi kepada Ahok di jajaran eksekutif. Tetapi, jabatan apa? Sekali lagi, posisi Mendagri yang saat ini dipegang oleh Tjahjo Kumolo sering disebut-sebut akan diberikan kepada Ahok. Pertanyaannya, apakah Jokowi senekad itu? Loh kok nekad? Bukankah Ahok kinerjanya kinclong? Programnya bagus dan sangat banyak dipuji masyarakat Jakarta. Paling tidak, 42 persen rakyat Jakarta masih menginginkan Ahok kembali menjadi Gubernur, walau belum cukup mengalahkan persentase kemenangan Anies-Sandi.
Kita harus jujur, bahwa kinerja Ahok memang tidak perlu diragukan. Ia berani pasang badan mengeksekusi kebijakan yang diyakininya akan membawa perubahan bagi penduduk Jakarta. Ia tidak tedeng aling-aling, tetapi langsung menohok. Siapapun kita, seyogianya, harus mengakui itu.
Namun kita juga tidak boleh menutup mata bahwa Ahok pernah “keseleo lidah” yang memicu pergolakan luar biasa di tengah masyarakat. Inilah satu-satunya kelemahan Ahok yang kapan saja bisa “dimanfaatkan” sebagai peluru politik. Ahok memang sudah mengaku salah dan meminta maaf, bahkan hingga sekarang statusnya sudah terdakwa. Tetapi, terlepas dari polemik tafsir-menafsir keagamaan, Ahok memang telah keliru karena masuk dalam wilayah yang seharusnya bukan urusan seorang gubernur.
Karena itu, janganlah dulu berpolemik bahwa demo massa terhadap Ahok adalah murni atau ada yang memboncengi, tetapi mari menilai posisi Ahok dari segi politik saja. Yakni, apakah Ahok akan diangkat Jokowi sebagai menteri?
Dalam konteks politik lokal Jakarta, Jokowi akan kesulitan bila menunjuk Ahok sebagai menteri ataupun posisi eksekutif strategis lainnya. Alasannya, energi untuk membendung penolakan terhadap Ahok akan terkuras habis. Sewaktu-waktu, Jokowi akan dibuat sibuk hanya untuk mengurus Ahok. Sementara Pilpres 2019 sudah di depan mata. Bukan tidak mungkin, simpati terhadap Jokowi akan tergerus hanya karena mengangkat Ahok sebagai menteri.
Namun, dalam konteks politik nasional, masuknya Ahok sebagai pembantu presiden juga berpeluang untuk mendongkrak popularitas Jokowi. Fans berat Ahok di berbagai daerah tentu saja akan girang dan otomatis mendukung Jokowi untuk kembali memimpin Indonesia kedua kalinya.
Pertanyaannya, dalam konteks nasional, apakah “keseleo lidah” itu akan menjalar atau berhenti di area Jakarta saja? Kalaupun menyebar, berapa persentasenya? Di sinilah kalkulasi politik yang perlu dihitung Jokowi dengan sangat cermat. Salah sedikit akan berakibat fatal. Namun, sebagai catatan, skor 58:42 di Jakarta antara Anies-Ahok merupakan gambaran paling yang gamblang untuk dipelajari. Jika penolakan Ahok hanya didasari oleh faktor “keseleo lidah” hingga memicu umat Muslim memilih Anies, tentu tidak akan sebanding dengan angka 58. Seharusnya sudah mencapai 80 hingga 90 persen. Dengan kata lain, pemilih Ahok sesungguhnya banyak disumbang oleh kaum Muslim.
Seandainya Jokowi menunjuk Ahok sebagai menteri, misalnya Mendagri, apakah masyarakat di wilayah lain utamanya Pulau Jawa sebagai basis suara nasional, akan bersimpati atau justru mencibir Jokowi? Itulah pertanyaan paling sulit yang belum bisa saya jawab. Bagaimana menurut Anda?
Semoga Bapak Presiden Jokowi sudah mengantongi jawabannya.