MEMBANGUN Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Begitulah bunyi butir ketiga dari sembilan Nawa Cita yang diusung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Implementasi dari Nawa Cita ini pun sudah kita saksikan bersama-sama, ditandai dengan menggeliatnya pembangunan di seluruh pelosok negeri. Jokowi menitikberatkan pembangunan yang harus dimulai dari desa dan pinggiran. Maka anggaran dana desa terus dinaikkan dari tahun ke tahun.Â
Di perbatasan, perekenomian juga ditata dengan membangun sentra-sentra ekonomi, termasuk memoles pos perbatasan yang menjadi pintu masuk Indonesia. Tak ketinggalan, kebijakan BBM satu harga di Papua dan Papua Barat juga telah diterapkan. Seluruh kebijakan tersebut patut diapresiasi dan selayaknya didukung komponen masyarakat.
Di saat bersamaan, rencana pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke daerah lain, sejauh ini yang terkuat Palangka Raya, juga terus mengemuka. Jokowi bahkan menugaskan salah satu menterinya untuk mengkaji lebih dalam tentang rencana pemindahan Ibu Kota tersebut. Palangka Raya, yang dielus-elus akan menjadi pusat pemerintahan juga terus bersiap. Soal lahan, yang menjadi kantor pemerintahan seperti Istana dan kantor pemerintahan lainnya, sudah disediakan. Singkatnya, Palangka Raya kapanpun siap melaksanakan perintah dari Jakarta.
Namun, rencana pemindahan Ibu Kota ke Palangka Raya, rasanya kurang pas jika ditilik dari sisi Nawa Cita, khususnya butir ketiga. Alasannya sederhana, jika seluruh desa dan daerah perbatasan sudah ditata dengan baik, lantas kenapa harus pindah dari Jakarta? Sebab, dengan tertatanya desa dan perbatasan, yang selanjutnya menggairahkan perekonomian lokal, dipastikan arus urbanisasi ke Jakarta akan berkurang drastis. Ke depan, Jakarta tidak lagi menyandang kota sejuta impian karena di kampung pun sudah tersedia lapangan kerja. Dengan kata lain, dengan bergeliatnya ekonomi di daerah, Jakarta lambat laun hanya akan menjadi pusat pemerintahan.
Untung-Rugi Pindah Ibu Kota
Mari kita bahas dari sisi keuntungannya dulu. Memindahkan Ibu Kota ke Palang Raya yang selanjutnya disebut sebagai pusat pemerintahan memang akan menuai manfaat ganda. Contoh paling mudahnya, pejabat negara maupun PNS kementerian dan lembaga negara tidak lagi harus berebut "jalanan macet" di Jakarta dengan kaum urban yang mengais rezeki. Kemudian, aset-aset milik negara yang bakal ditinggalkan di Jakarta, juga bisa dilelang atau disewakan ke pihak swasta. Hasil lelang ataupun penyewaan gedung tersebut dipastikan bernilai jumbo.
Kerugiannya? Paling mudah dilihat yaitu biaya yang juga tak sedikit untuk membangun kantor-kantor pemerintahan. Belum lagi persoalan perpindahan tempat tinggal PNS kementerian dan lembaga negara yang mungkin saja sudah mempunyai rumah pribadi di kawasan Jabodetabek. Di sini, hukum ekonomi tentu saja akan berlaku, yakni rumah pribadi PNS yang bakal hengkang ke Palangka Raya akan ditawar dengan harga rendah. Pasar tentu saja akan memanfaatkan situasi perpindahan massal tersebut.
Barangkali, masih banyak untung-rugi perpindahan Ibu Kota yang terlewatkan. Namun yang jelas, rencana perpindahan itu sebaiknya dikaji lebih mendalam. Kalau menurut saya, biarkanlah Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan bisnis, sembari terus menata Indonesia dari desa dan perbatasan. Nawa Cita yang digagas Presiden Jokowi sudah sangat tepat mengurai kesenjangan pembangunan yang selama ini terlalu menganga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H