Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Menimbang Jokowi-Prabowo, Duet Maut Pilpres 2019

28 Juni 2017   00:50 Diperbarui: 28 Juni 2017   01:29 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi-Prabowo (Kompas.com)

PILPRES 2019 tinggal dua tahun lagi. Pertarungan politik tingkat nasional akan kembali tersaji. Tak heran apabila partai politik mulai memanaskan mesin politik dengan berbagai manuver yang sasaran tembak sesungguhnya adalah Pilpres 2019. Lihatlah bagaimana alotnya pembahasan revisi UU Pemilu, khususnya dalam poin batas ambang Presidential Threshold (PT). Ada partai yang mengingingkan PT dipatok tinggi, semisal 20-25 persen, yang justru ditentang sejumlah partai dengan menghendaki PT serendah mungkin, kisaran 5 persen. Konsekuensinya, dengan PT tinggi, partai yang berhak mengusung calon presiden harus lebih dulu menjalin koalisi untuk memenuhi ambang batas 20-25 persen. Sebaliknya, apabila PT dipatok rendah, dipastikan hampir seluruh partai nantinya berhak mengusung calon presiden.

Bagaimana sikap pemerintah? Mendagri Tjahjo Kumolo sebagai perwakilan pemerintah lebih memilih PT tinggi. Langkah ini sangat bisa dimaklumi mengingat Tjahjo juga merupakan kader PDIP, alias rekan separtai Presiden Jokowi. Dengan tingginya PT, pemerintah (Tjahjo) tentu mempunyai kans yang lebih besar untuk menggiring partai lainnya menjalin koalisi dengan PDIP untuk selanjutnya kembali mencalonkan Jokowi sebagai presiden. Dengan PT rendah, pemerintah akan kesulitan mengontrol partai lain seandainya seluruh partai dengan bebas mencalonkan jagoannya sendiri, tanpa harus mengikat tali koalisi terlebih dahulu.

Tarik-menarik ambang batas PT pun terlihat jelas ketika Gerindra ngotot agar PT bahkan dipatok nol persen. Sekilas, logika Gerindra memang masuk akal sebab Pemilu 2019 nanti akan berlangsung serentak dengan Pemilihan Legislatif (Pileg). Berbeda dengan Pemilu 2014, yang lebih dulu menggelar Pileg, kemudian disusul Pilpres, karena masih mamatok PT sebesar 20 persen. Jika memang Pilpres dan Pileg digelar serentak, penentuan batas PT memang sejatinya tidak lagi relevan.

Namun, terlepas dari polemik penentuan batas PT, sejauh ini kandidat presiden di luar Jokowi rasanya masih berputar pada satu nama yakni Prabowo Subianto. Itu artinya, pertarungan politik 2019 sebenarnya tidak banyak berubah dari 2014. Dua kandidat yang sama akan berlaga di pertandingan serupa. Jokowi dan Prabowo. Bedanya, hanya terletak pada siapa calon wakil presiden yang mendampingi Jokowi dan Prabowo. Untuk Jokowi, sudah jelas sebagaimana disampaikan Jusuf Kalla yang akan segera menikmati usia pensiun. Itu artinya, Jokowi akan mencari pendampingnya. Sementara Prabowo sejauh ini juga belum melirik siapa kandidat yang bakal mendampinginya.

Jalan tengah yang paling manjur sepertinya memadukan Jokowi dan Prabowo. Jokowi tetap sebagai capres dan Prabowo harus rela mengulangi posisinya sebagai cawapres seperti pada Pilpres 2009 saat tandem dengan Megawati. Kala itu, Mega-Prabowo kalah dari SBY-Boediono, yang sekaligus menjadi titik awal "kegaduhan" antara PDIP dan Gerindra. Namun, yang namanya politik tetap saja dinamis. Terbukti pada Pilkada DKI 2012, PDIP-Gerindra kembali akur dengan mengantarkan kemenangan bagi Jokowi-Ahok.

Kini, menjelang dua tahun usainya periode pertama Jokowi, mungkin tidak ada salahnya kembali bernostalgia dengan Gerindra. Kenangan 2009 sangat menarik bila dihidupkan kembali pada 2019 mendatang. Paketnya bukan lagi Mega-Prabowo, tetapi dimodifikasi sedikit menjadi Jokowi-Prabowo. Perpaduan dua partai paling eksis saat ini.

Seandainya tawaran ini diterima Prabowo, rasanya tidak ada lagi calon lain yang ingin "melawan". "Percuma saja, buang-buang tenaga," begitu kira-kira ungkapan yang tepat. Jokowi dengan mesin blusukannya yang luar biasa, ditopang oleh kuatnya kharisma seorang Prabowo merupakan sihir politik yang tiada tara. Duet maut Jokowi-Prabowo akan membuat lawan politik mengambil langkah mundur teratur. PT rendah atau tinggi pun otomatis tidak lagi perlu dikhawatirkan. Dengan PT rendah atau tinggi, Jokowi-Prabowo mustahil dikalahkan.

Pertanyaannya, bersediakah Prabowo? Atau sebaliknya, bersediakah Jokowi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun