Refly Harun curhat di media sosial setelah resmi dicopot sebagai Komisaris Utama (Komut) PT Pelindo I (Persero), perusahaan BUMN yang bergerak di sektor kepelabuhanan dan berkantor pusat di Medan, Sumut. Curhatan Refly itu seperti biasa langsung diserbu netizen dengan berbagai macam komentar. Ada yang mencibir tetapi banyak juga yang mengagungkan. Terbelah dua.
Tapi, pencopotan Refly oleh Menteri BUMN Erick Thohir sangat wajar dari sisi etika pemerintahan. Anggap saja begini, dalam satu kelompok ada seseorang yang malah asyik mengkritik kelompoknya sendiri. Saluran kritik itu pun diset public  sehingga semua orang akhirnya tahu apa yang terjadi di dalam kelompok itu.
Pertanyaannya, apakah seseorang itu boleh dianggap 'baik' ketika rajin mengkritik pimpinannya sendiri? Kemudian, apakah etis mengumbar kritik ke kelompok sendiri dengan mengumbarnya lewat saluran publik? Inilah dua pertanyaan yang menurut saya menjadi jawaban kenapa Refly akhirnya didepak sebagai Komut Pelindo.
Mari kita lihat pertanyaan pertama. Apakah 'baik' apabila seorang pejabat BUMN mengkritik kebijakan pemerintah sementara ia sendiri berada di dalam lingkar kekuasaan? Ibarat kata, ini sama saja mengkritik diri sendiri. Terlepas, mungkin saja, Refly menilai kebijakan pemerintah memang tidak sesuai dengan pandangan pribadinya. Namun tetap saja, ada aturan main yang wajib dipatuhi para bawahan. Kalau bawahan boleh bebas mengkritik pimpinan, apakah roda pemerintahan akan berjalan mulus? Saya ragu.
Sekarang pertanyaan kedua. Yakni soal etika yang mengikat seorang pejabat BUMN. Okelah, Refly dengan latar belakang keilmuannya yang tak lagi diragukan, cukup objektif ketika mengkritik pimpinannya. Hanya saja, apakah etis bila kritik itu disampaikan melalui media sosial? Di sini, Refly bisa saja dianggap tidak 'sopan' dan malah berniat mempermalukan pimpinannya sendiri di hadapan umum.
Lantas, apa hubungannya dengan Luhut Panjaitan? Sudah jelas ada. Yakni ketika Refly ikut-ikutan membela Said Didu yang menuding Luhut hanya memikirkan uang,uang, dan uang. Dalam cuitannya, Refly terang-terangan menyebut pejabat negara tidak boleh antikritik, bahkan kritik paling pedas sekalipun. Di sini, Refly dengan lugas dan tegas sedang 'menyenggol' Luhut yang sebelumnya keberatan atas kritikan Said Didu.
Memangnya Luhut sangat berkuasa hingga dengan mudah menyingkirkan Refly? Bukankah Menteri BUMN yang punya kewenangan memberhentikan Refly? Secara struktural memang begitu. Tetapi seperti kita tahu, Luhut saat ini memiliki power yang cukup besar di lingkaran pemerintahan. Namun bukan berarti pula Menteri BUMN tunduk begitu saja kepada Luhut ketika meminta agar Refly diberhentikan. Bisa jadi, Menteri Erick juga berpandangan sama dengan Luhut.
Sebagai mantan tentara, Luhut sangat wajar bila tidak nyaman dengan sikap Refly yang berani mengkritik pimpinan secara terbuka. Luhut yang berdarah militer, bagaimanapun akan mengedapankan loyalitas tegak lurus tanpa ragu-ragu. Jika ragu, sebaiknya mengundurkan diri. Sayangnya, Refly enggan mengundurkan diri dan tetap asyik menyerang pemerintah. Maka jalan satu-satunya adalah melucuti jabatan Refly.
Begitulah kira-kira, menurut saya. Berani senggol Luhut, Refly Harun pun dibuldoser. The End.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H