"Tung naso jadi moru tung naso jadi mose. Songoni tuhil i hulean tu ho ingkon songoni do mulak. (Tak boleh kurang tak boleh lebih, tuhil (pahat) itu harus kembali kepada saya bagaimanapun caranya).
Begitulah kalimat tegas abangnya ke Mardongan, setelah beberapa kali minta maaf atas hilangnya pahat (tuhil) milik abangnya yang dipinjam Mardongan. Berbagai upaya ditempuh untuk berdamai namun hati abangnya tak kunjung luluh. Saudara semarga (dongan tubu) juga ikut menawarkan jalan keluar, tetapi tak guna.
"Bagaimana kalau saya ganti saja atau saya tukar barang lain, hahadoli (abang)?" Mardongan kembali membujuk. Namun abangnya bergeming. Harus pahat miliknya yang dikembalikan secara utuh. Mardongan pun kembali seakan habis asa.
Walau sebetulnya sungkan, Mardongan akhirnya berinisatif untuk minta tolong ke hula-hula-nya (saudara istrinya) bermarga Dolok Saribu. Hula-hula-nya pada zaman itu terkenal sakti mandraguna yang sering tampil adu ilmu di seantero tanah Batak.
Ahu si Piso Sumalim sian Nagatimbul; api hudege api do martimpul-timpul. Aek hudege aek do marjembur jembur. Begitulah sedikit mantra Dolok Saribu yang sering terdengar dalam legenda Si Piso Sumalim. Tanpa ragu lagi Mardongan berangkat ke Nagatimbul bersama istrinya boru Doloksaribu untuk meminta pertolongan mendamaikan persoalanya dengan abangnya. Namun upaya Mardongan lagi-lagi terbentur.
"Molo ni pahuta boruniba, tokka do antoan na marhahaanggi helaniba (bila saudara perempuan kita sudah menikah, tak baik mencampuri urusan rumah tangga mereka). Begitu Dolok Saribu menjawab dengan diplomatis. Mardongan hanya mengangguk saja mendengar tanggapan Dolok Saribu.
Namun Mardongan punya satu permintaan kepada keluarga istrinya. Yakni agar istrinya untuk sementara kembali menetap di kampung Dolok Saribu. Permintaan itu disampaikan Mardongan karena merasa perselisihan dengan abangnya akan semakin rumit. Demi keamanan dan kenyamanan, Mardongan berharap agar istrinya tidak perlu ikut kembali ke kampung halaman.
Dolok Saribu memenuhi permintaan Mardongan dengan syarat Mardongan harus datang menjemput istrinya jika nanti telah melahirkan. Berhubung pada saat itu istri Mardongan memang sedang mengandung. Mardongan pun kembali ke Hutagurgur sedangkan istrinya tinggal di Nagatimbul untuk sementara waktu.
Bersambung...
Cerita ini adalah cerita turun-temurun di kalangan marga Pardosi. Tradisi dilarang makan daging anjing berbulu belang (hanya campuran bulu hitam dan putih) masih dipegang teguh oleh seluruh keturunan marga Pardosi hingga saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H