Celakanya, prediksi Dewan Komisaris memang terbukti. ROC selaku operator Blok BMG menghentikan sementara produksi minyaknya. Pertamina yang sudah terlanjur membeli saham akhirnya protes kepada ROC. Namun apa daya, Pertamina hanya pemegang saham 10% sehingga tak berkuasa mengintervensi keputusan ROC. Selanjutnya, Pertamina atas hasil RUPS menyetujui divestasi saham (pelepasan aset) BMG dan diserahkan kembali kepada pemilik PI lainnya (withdrawl).
Akan tetapi berdasarkan hasil audit Ernest & Young, investasi di Blok BMG sudah tak lagi bernilai. Investasi tersebut kemudian dimasukkan sebagai penurunan aset (impairment) yang jumlahnya sebesar Rp 568.060.000.000. Atau biar lebih singkat mari kita bulatkan saja menjadi Rp 568 miliar. Angka ini diperoleh atas laporan penghitungan kerugian keuangan negara dari kantor Akuntan Publik, Drs Soewarno, Ak pada 6 Desember 2017.
Tuduhan telah menyebabkan kerugian negara inilah yang kemudian menyeret Karen ke kursi pesakitan korupsi oleh Kejaksaan Agung. Karen dituduh telah melakukan tindak pidana korupsi sesuai UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Karen didakwa telah menguntungkan diri sendiri serta menyalahgunakan jabatan dan kewenangan sebagai Dirut Pertamina.
Majelis hakim selanjutnya menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara. Karen terus mencari keadilan hingga mengajukan kasasi di Mahkamah Agung (MA). Karen merasa tidak pernah memperkaya diri sendiri serta menyalahgunakan wewenangnya sebagai Dirut Pertamina.
Menggugat Business Judgment Rules sebagai Tindak Pidana Korupsi
Bagi mereka yang berkecimpung di sektor energi, istilah "koboi minyak" tentu sudah tidak asing lagi. Sebuah istilah yang menggambarkan sepak terjang para pebisnis minyak yang mirip koboi. Yakni penuh petualangan dan terbiasa 'bermain judi'. Bisnis minyak tidak ada yang pasti seperti halnya bisnis batubara atau sumber energi lainnya. Sebab tak seorangpun yang tahu dengan pasti besaran cadangan minyak yang terkandung di perut bumi.
Unsur spekulasinya sangat tinggi. Bisa saja sumur minyak yang digali mengandung minyak, tetapi jumlahnya sedikit. Alias melenceng dari perhitungan awal. Itu berarti seluruh investasi harus direlakan hangus tak bersisa. Tapi bila sedang beruntung, sumur minyak yang digali ternyata melimpah-ruah. Pada saat itulah pebisnis minyak dapat meraup untung yang sebanyak-banyaknya. Namanya juga koboi, tak ada yang pasti.
Akibat ketidakpastian itulah kenapa Karen yang dalam hal ini bertindak sebagai 'koboi minyak' tidak dapat disalahkan. Ia hanya melakukan tugasnya sebagai Dirut yakni mencari minyak sebanyak-banyaknya. Risiko pasti ada, salah satunya seperti yang dialami Blok BMG di Australia.Â
Majelis hakim semestinya memahami hal tersebut, bahwa kebijakan Karen adalah murni keputusan korporasi yang tidak bisa diseret ke ranah pidana.
Mereka adalah Ridwan Khairandy, Ridwan, M. Abdul Kholiq, Hanafi Amrani, Junaidi Albab Setiawan, Eko Sembodo, Ahmad Wirawan Adnan, M. Arif Setiawan, Mahrus Ali, Chairul Huda, Ery Arifuddin, Eddy OS Hiariej, dan Nurjihad.