Gerimis turun. Macet mulai terlihat. Temanku mengajak berteduh di sebuah kafe sederhana di pinggiran Jakarta. Memesan secangkir kopi lalu. Kemudian diikuti ritual rutin: menyalakan sebatang rokok. Temanku itu tampak gusar. Ia belum terbiasa dengan terjebak macet berjam-jam di jalanan Jakarta. Sampai rumah sudah malam. Perut sudah pasti keroncongan.
Ketimbang pusing memikirkan macet, saya membuka obrolan. Kutanya pendapatnya soal isu mantan menteri Jokowi yang bakal ditempatkan sebagai Dirut perusahaan BUMN. Menjadi bos di perusahaan pelat merah. "Ya bagus dong, kan itu namanya mengabdi pada negara," jawabnya singkat.
Tapi, sambungku, bukankah itu turun kelas? Dari seorang menteri menjadi Dirut BUMN. Yang tadinya berlakon sebagai komandan petinggi BUMN kini harus bertukar posisi sebagai anak buah. Wajib menghadap bila dipanggil menteri. Apa tidak risih ya?
Temanku itu kembali berargumen santai. "Itu kan pendapatmu, bagi mereka yang terpenting itu adalah mengabdi kepada negara, mau posisi apapun itu. Dari tadinya bos sekarang jadi anak buah. Tak masalah selama kinerja mereka memang oke punya."
Jangan-jangan, mereka itu hanya haus kekuasaan saja? Kataku mengejar pendapatnya lagi. Kali ini temanku sedikit menghela nafas. Menyeruput kopinya yang mulai dingin di tengah deru mesin motor di jalan raya. Dia berpikir sejenak, "Ya juga sih, turun pangkat memang," pendapatnya mulai berubah. "Tapi kan kalau niatnya ingin mengabdi, itu nggak masalah juga sih," temanku buru-buru mengoreksi komentarnya.
Kemudian kupancing lagi. Kalau seandainya mantan menteri diangkat jadi menteri kembali, it's oke. Atau paling bagus misalnya diangkat jadi Menko seperti Airlangga Hartarto yang dari Menteri Perindustrian menjadi Menko Perekonomian. Itu bagus karena posisinya sekarang lebih tinggi, bukan malah turun," saya sedikit memberi contoh.
Temanku tak mau kalah. "Tergantung sosoknya siapa. Kalau seperti Jonan, Rudiantara, dan Susi kan memang layak dipilih kembali. Ketiga mantan menteri itu masih dibutuhkan negara karena kinerjanya cukup bagus saat di kabinet," jawabnya memberikan tiga contoh mantan menteri yang belakangan diisukan bakal didaulat sebagai bos BUMN.
Argumen soal tiga mantan menteri itu tak kubantah. Bahwa ketiganya punya rekam jejak positif saat di kabinet pertama Jokowi. Jonan membenahi sektor energi, Rudiantara di komunikasi, dan Susi yang rajin menenggelamkan kapal pencuri ikan. Ketiganya menarik perhatian publik, terutama Susi. Sayangnya, pengganti Susi sekarang tidak lagi tertarik menenggelamkan kapal pencuri ikan. Ganti menteri ganti kebijakan, seperti biasanya.
Tapi tunggu dulu deh, saya kembali bertanya. Apa harus mengabdi di pemerintahan agar ketiga sosok fenomenal itu mampu menciptakan perubahan di tengah masyarakat? Apa tidak ada lagi inovasi yang bisa dibuat jika berada di luar pemerintahan? Misalnya, menciptakan lapangan pekerjaan dengan mendirikan sebuah perusahaan sesuai keahliannya.
Menurut temanku, boleh saja para mantan menteri mendirikan perusahaan atau menciptakan inovasi baru yang muaranya adalah membantu negara. Namun lagi-lagi, berada di dalam pemerintahan akan jauh lebih mudah mewujudkan cita-cita itu. Target yang akan dicapai serasa lebih ringan bila berada dalam birokrasi. Walaupun, seperti kataku, para mantan menteri itu harus rela turun kelas. Dari seorang bos menjadi anak buah.
Kutegaskan kembali. Berarti mereka itu ingin mengabdi atau memang haus kuasa saja ya? Kok ngotot banget ingin menjabat lagi? "Terserah kaulah, mau mengabdi atau haus kuasa yang pasti mereka masih dibutuhkan negara ini," jawabnya.
Gerimis reda. Kami beranjak dari kafe sederhana itu, tak lupa membayarkan tagihan terlebih dulu. Jalanan di pinggir Jakarta semakin macet. Malam pun tiba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H