Nestapa, dalam KBBI, bermakna susah hati; sedih sekali. Sementara Hanura adalah singkatan dari Hati Nurani Rakyat. Kalau keduanya digabungkan: susah hati/sedih sekali hati nurani rakyat. Atau, hati nurani rakyat sedih sekali atau bersusah hati. Sungguh menyedihkan, memang.
Habis manis sepah dibuang, peribahasa zaman dulu. Habis suara kader dibuang, peribahasa zaman sekarang. Ketika Hanura kehilangan suara di DPR, kadernya dibuang. Tak dipanggil.
Dari 34 menteri dan 12 wakil menteri, tak satupun kader Hanura. Justru Gerindra yang kecipratan dua kursi, parpol yang mati-matian mengalahkan Jokowi. Sedangkan menurut elit Hanura, partainya sudah 'berdarah-darah' agar Jokowi kembali duduk di Istana.
Sedihkah Hanura? Sudah pasti sedih. Tak perlu ditanyakan lagi.
Walaupun beberapa kader Hanura berusaha tegar, menerima keputusan Presiden. Permintaan maaf juga sudah diucapkan Presiden lantaran tak semua pihak kebagian kue kekuasaan. Mungkin maksud Jokowi, salah satunya ditujukan kepada Hanura.
Kesedihan Hanura sangat logis sekali. Di Pilpres 2019, Hanura merupakan salah satu parpol pengusung Jokowi-Ma'ruf dengan kekuatan 16 kursi di DPR. Hanura bukan parpol tanpa gerbong saat itu. Bukan pula parpol yang baru lahir seperti PSI dan Perindo. Tetapi kenapa justru PSI dan Perindo diganjar kursi wakil menteri? Sungguh sebuah nestapa.
Bila mundur lima tahun ke belakang, Hanura sempat diperhitungkan. Lihat saja, di Kabinet Indonesia Kerja Jokowi-JK, terdapat 2 menteri yang mewakili Hanura. Keduanya adalah Saleh Husin sebagai Menteri Perindustrian dan Yuddy Chrisnandi sebagai Menpan RB. Sayang, kedua menteri ini tersapu reshuffle kabinet pada 2016.
Kendati begitu, 2 kursi menteri itu kemudian dikonversi Jokowi menjadi 1 kursi menteri saja. Sejak saat itulah, Wiranto yang merupakan pendiri dan dedengkot Hanura tampil sebagai Menkopolhukam. Jokowi, kala itu, terpaksa mengurangi jatah Hanura menyusul bergabungnya Golkar ke Koalisi Indonesia Hebat, usai meninggalkan Koalisi Merah Putih yang dimotori Gerindra.
Nasib sial kembali menimpa Hanura pada Pileg 2019. Hanura gagal menembus batas ambang batas 4 persen di DPR hingga akhirnya terlempar dari Senayan. Penghuni Senayan akhirnya berkurang 1, dari 10 parpol menjadi 9 parpol saja. Hanura terseok. Suaranya tak sanggup mengamankan kursi di DPR.
Wiranto, yang menjadi ikon Hanura tak mampu berbuat banyak selain pasrah atas keputusan Jokowi. Sementara OSO, Ketua Umum Hanura justru lebih disibukkan dengan persoalan internal partai. Menyelesaikan dualisme kepemimpinan yang sangat banyak menguras energi kader dan pengurusnya.
Begitulah nestapa Hanura. Ketika suaranya sudah habis, kadernya lantas dibuang. Wakil menteri saja pun tidak. Wiranto menjadi menteri terakhir dari Hanura. Wiranto yang merintis dan mendirikan Hanura malah harus menutup lembaran politik partainya sebagai menteri terakhir dari Hanura.