Ada yang sedang mondar-mandir di lantai atas. Suara kaki itu kadang ada lalu tiba-tiba menghilang. Sayup-sayup di antara keheningan malam. Begitu terus, selama hampir 9 bulan lamanya.Â
Saya akhirnya menyerah dan memutuskan untuk pindah saja dari rumah itu. Menyisakan 3 bulan lagi sewa kontrakan. Daripada diteror perasaan horor setiap malam, uang sewa kontrakan yang terlanjur dibayar tahunan pun terpaksa direlakan. Seperti itulah yang pernah saya alami tujuh tahun silam. Ketika rumah yang kami sewa ternyata ada "penghuninya".Â
Rumah itu terdiri dari dua lantai. Di lantai bawah ada tiga bagian, ruang tamu, ruang tidur, dapur dan kamar mandi. Tanpa kamar. Sementara lantai atas masih terbuat dari kayu, dibiarkan kosong melompong tanpa kamar. Ada jendela besar di sisi kiri rumah menghadap tanah kosong. Rumah itu berada di salah satu gang di Cawang, Jakarta Timur. Tepatnya di seberang Kampus UKI atau di belakang Gereja HKBP Sutoyo. Letaknya paling ujung. Di dekat sebuah pompa air zaman dulu milik warga di situ. Pompa air yang masih menggunakan tenaga tangan.
Kisahnya bermula ketika anak pertama kami lahir, seorang perempuan yang kini sudah duduk di bangku SD. Kondisinya sehat seperti kebanyakan anak pada umumnya. Tapi, ada yang aneh. Kok nangis terus tiap malam? Sebetulnya pada siang hari juga kerap menangis, tetapi kian menjadi-jadi pada saat malam. Baru reda usai menjelang subuh. Saya dan istri yang masih menyandang orangtua baru sudah melakukan beragam cara untuk menenangkan si bayi. Tapi gagal.
Awalnya saya curiga kalau bayi kami memang kurang sehat. Dari hasil "mengacak-acak" Mbah Google, saya menyimpulkan anak kami mengalami "kolik", penyakit di bagian pencernaan yang konon tanpa penyebab dan akan sembuh seiring waktu. Sehingga tidak perlu dikhawatirkan karena akan sembuh sendiri. Sementara dari hasil pengecekan ke dokter, menyebutkan kondisi bayi dalam keadaan sehat dan normal, tak mengidap kolik. Tetapi siapa yang tahan mendengar tangisan bayi setiap hari dan setiap malam?
Stres mulai menerpa, dan memulai terpengaruh omongan mistis. Dari hasil curhat ke beberapa tetangga, saya kemudian bertemu dengan warga asli alias "orang asli situ". Bukan pendatang seperti kami. Saya akui, warga asli yang saya temui itu orangnya baik. Bukan modus gaib-gaiban yang ujung-ujungnya duit. Ia ikhlas membantu.
Pada malam hari sekira pukul delapan, ia akhirnya datang ke rumah kami. Membawa dua buah botol bekas, kantong kresek dan beberapa karet gelang. Mengobrol sebentar, ia lantas mengajak ke lantai atas. Saya ikut sementara istri menolak: takut delapan keliling. Warga asli yang saya sapa Bapak itu kemudian berkeliling, mengamati setiap sudut. Bibirnya komat-kamit layaknya membaca mantra.
Secepat kilat tangan Bapak itu kemudian menangkap "sesuatu". Kalau tak salah ingat, sebanyak 5 kali Bapak itu menangkap "sesuatu" dan dengan cepat memasukkannya ke dalam dua buah botol. Ujung botol itu kemudian ditutup kantong kresek serta melilitkan karet gelang sebagai pengikatnya. Beres, "sesuatu" itu kini sudah berada di dalam botol. Kami lalu kembali ke lantai bawah.
Saya kemudian bertanya apa sih isi dalam botol itu? Sebab jujur saja, saya tak pernah melihat secara nyata wujud "sesuatu" itu. Hanya merasakan saja bahwa ada yang memang aneh di lantai atas. "Ini penghuninya, rumah ini kan sudah lama kosong sebelum kalian sewa. Dulu mereka ini tinggal di sebuah pohon di sana, tapi sekarang pohon itu sudah ditebang makanya mungkin pindah ke sini," ujar Bapak itu sambil menunjuk ke arah sebelah kanan rumah.
Setelah kedatangan Bapak itu, suasana di rumah sedikit mereda. Bayi kami yang sudah menginjak usia 3 bulan mulai berkurang intensitas menangisnya. Namun kabar kedatangan Bapak itu sudah terlanjur menyebar ke warga sekitar. Warga mulai terbuka dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di lantai atas rumah itu.
Kemudian muncullah cerita baru. Bahwa di bawah rumah yang kami tempati sebetulnya masih ada kuburan. Konon, lahan itu dulunya digunakan sebagai kuburan keluarga. Tak sempat dipindahkan, keluarga pemilik lahan itu kemudian terlibat cekcok. Singkat cerita, lahan itu pun berpindah tangan alias dijual. Sementara kuburan yang sudah berusia cukup lama dan rata dengan tanah itu tak sempat dipindahkan. Si pemilik baru lantas membangun rumah kontrakan di atas lahan itu. "Makanya orang ngontrak nggak pernah betah tinggal di situ," kata seorang warga seolah memberi aba-aba.
Kesaksian beberapa tetangga itulah yang membulatkan tekad kami untuk segera angkat kaki. Mencari rumah kontrakan yang baru. Saya buru-buru mencari rumah kontrakan baru walau masa kontrak rumah masih tersisa tiga bulan lagi. "Bodoh amat," pikirku.
Sebelum pindah, pemilik rumah 'horor' itu pun saya hubungi, memberi kabar akan pindah dan berniat ingin menyerahkan kunci rumah. "Wah, padahal tadinya saya mau bilang kalau rumah itu bisa kok dikontrakin bulanan, nggak harus tahunan," dia mencoba menguatkan. "Nggak deh, Bang. Saya menyerah," kujawab sambil tertawa.
Agaknya pemilik kontrakan itu pun sudah paham kenapa saya memutuskan pindah. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H