Perawakannya khas Papua, tinggi-besar, kulit hitam, dan rambut keriting. Bagi yang belum pernah berkenalan, kesan pertama yang muncul pasti sedikit berbeda. Ada rasa "takut". Tapi saya biasa saja, karena saya juga tak kalah "menakutkan". Hehehe. Kulit saya juga hitam, wajah khas Batak: muka tempur. Kami seketika kompak, ngobrol dan tertawa bersama. Barangkali karena ada persamaan di antara kami.
Carlos Cliff Kambuaya. Itulah nama pria itu. Seorang dosen yang sedang menempuh pendidikan S2 di Jakarta. Tepatnya, Carlos adalah dosen di Universitas Cenderawasih (Uncen) Papua. Di Jakarta, ia menempuh pendidikan master di Universitas Indonesia (UI) Kampus Salemba, Jakarta Pusat. Kalau tak salah ingat, Carlos adalah seorang dosen di FISIP, dengan jurusan Kesejahteran Sosial. Maklum, pertemuan dengan Carlos terjadi pada 12 tahun lalu.
Lantaran dekat ke kampus, Carlos memilih kos di kawasan Salemba, tepatnya di belakang Pasar Kenari. Kebetulan, saya bersama seorang saudara juga ngekos di situ. Di kos-kosan yang sama, hanya beda kamar saja. Carlos di sebelah kanan, kami di sebelah kiri. Dengan pintu yang saling berhadap-hadapan.
Dalam berbagai kesempatan, kami kerap mengobrol dengan Carlos. Selain seorang pria humoris, Carlos berkarakter pendidik. Rasa gurunya sangat terasa. Tak salah memang ia mengabdi sebagai seorang dosen. Salah satu perbincangan yang saya membekas dalam ingatan saya adalah cerita Carlos tentang seorang Batak di Papua.
Menurut Carlos, pria Batak yang berprofesi guru di Papua itu sangat menikmati hidupnya. Ia bahkan tidak ingin lagi kembali ke tanah leluhurnya di Tapanuli sana. Tetapi memilih menetap di Papua hingga akhir hayatnya. Termasuk meminta agar dimakamkan di Papua saja bila kelak ia menghadap Yang Kuasa. Carlos bercerita, orang Batak di Papua mempunyai tempat cukup istimewa. Tentu saya penasaran penyebabnya. Kok bisa?
Carlos bilang, itu karena adanya persamaan karakter antara Batak dan Papua. Punya rasa ingin tahu yang tinggi. Kepedulian sosial Batak dan Papua, menurut Carlos, juga layak dipuji. Memiliki kepekaan sosial yang tergolong tinggi pula. Meski, itu tadi, wajahnya cukup "menyeramkan". Tetapi seperti kata pepatah, jangan menilai buku hanya dari sampulnya saja. Mungkin itu perumpaan yang pas.
Dalam cakupan yang lebih luas, penilaian Carlos terhadap orang Batak memang tidak berlebihan. Mungkin banyak yang tidak terlalu memperhatikan para pejabat pemerintahan, TNI dan Polri, serta jabatan lain, selalu dipercayakan kepada orang Batak. Misalnya saja, Plt Gubernur, Pangdam, Kapolda, Kajati, maupun jabatan lainnya rata-rata diisi orang Batak. Tentu saja itu bukan kebetulan. Tetapi memang sudah dikondisikan demikian. Alasannya itu tadi, seperti kata Carlos.
Papua Teman yang Asyik
Kalau Carlos memuji orang Batak, saya pun punya pujian kepada orang Papua. Jauh sebelum mengenal Carlos, saya pun telah banyak bersinggungan dengan anak Papua. Ketika masih kuliah di Universitas Kristen Indonesia (UKI). Di sana, ada kelompok mahasiswa bernama Ikatan Mahasiswa Cenderawasih (IMACE), yang kebanyakan dari mereka mengambil jurusan Teknik.
Anak Papua itu sangat mengasyikkan, loh. Mereka tak pernah memilih teman, cukup cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan yang paling penting mereka punya rasa solidaritas yang tinggi. Asyiknya lagi, rasa solidaritas tinggi itu bukan hanya untuk kelompok mereka saja, tetapi kepada siapapun yang mereka anggap sebagai teman. Tak peduli teman itu orang Papua atau bukan, rasa persahabatan mereka tidak akan luntur.
Suatu saat nanti, saya berharap masih bisa bertemu kembali dengan Carlos. Berbincang tentang Indonesia, sebuah topik yang amat ia gemari. Saya ingin mengajak Carlos agar terus menyerukan rasa persatuan dan kesatuan di samping mempersembahkan seluruh ilmunya kepada anak-anak Papua.