Kutanya lebih lanjut, apakah sudah ada upaya mediasi kepada keluarga terduga korban? "Sudah dua kali tetapi selalu gagal, tetap meminta agar dilanjutkan ke pengadilan."
Terus, sudah pernah ajukan agar tersangka pelaku menjalani tahanan luar? "Ditolak polisi, alasannya akibat tekanan publik. Bahkan saya pernah meminta agar dibebaskan sebentar saja agar bisa hadir saat acara tujuh bulananku, tetap ditolak polisi. Selalu tekanan publik alasannya."
Sebelum menutup telepon, saya pastikan sekali lagi, apakah yakin sudah siap kasusnya dibawa ke pengadilan? "Sangat siap, kami sudah cukup pusing dengan penghakiman sepihak selama ini.
Makanya, kalau polisi memang sudah punya bukti dan saksi, kapan dilimpahkan ke Kejaksaan? Lalu sampai kapan suamiku ditahan?"
Begitulah akhir percakapan kami. Semoga kasus ini secepatnya ditangani Polres Tobasa. Terlepas terbukti atau tidak, biarlah Pengadilan yang memutuskan.
Namun tanpa bermaksud membela dan menggurui aparat hukum, barangkali ada baiknya Kepolisian membuka berkas kasus hampir serupa yang menimpa Jakarta International School (JIS) 2015 lalu.
Saat itu, dua guru dan empat petugas kebersihan sekolah dituduh melakukan pencabulan terhadap seorang siswa.
Guru dan petugas kebersihan itu kemudian dihakimi opini publik dan dengan cepat diproses hukum. Satu orang terduga pelaku bahkan meninggal dunia saat di sel tahanan.
Ironisnya, kasus itu kemudian berubah total. Ternyata ada dalang di balik peristiwa itu. Semua hanya rekayasa belaka dari orangtua korban. Motifnya uang.
Pada akhirnya, seluruh terduga pelaku dibebaskan karena tidak terbukti. Presiden Jokowi kemudian memberikan grasi kepada salah seorang guru yang sudah terlanjur divonis Mahkamah Agung. Guru yang berkewarganegaraan Kanada itu pun kini sudah kembali ke negaranya.
Dalam kasus ini, saya bukannya ingin menuduh ada rekayasa. Tetapi berharap agar Polres Tobasa segera menuntaskannya. Jangan ditunda-tunda. Toh, pelaku dan keluarganya sudah menyatakan siap maju ke persidangan.