Ketimbang tak punya kerjaan di malam minggu, maklum tak lagi muda yang lazim mencari suasana di luar rumah, saya lantas berandai-andai. Kali ini soal politik, bukan kekayaan atau impian pelesiran. Entah kenapa anganku malah mampir ke seorang sosok yang cukup fenomenal di jagad politik nasional.
Dialah Luhut "Buldoser" Panjaitan. Biasa disingkat LBP atau sering juga disebut "Ompung Luhut". Seorang pria Batak yang lama berkarir di dunia militer sebelum terjun sebagai pengusaha dan lalu ke politik.
Menyimpang sedikit, Luhut dalam tradisi Batak, saya memanggilnya Ompung atau bisa juga Bapatua. Panjaitan merupakan anak tertua dari empat marga bersaudara: Panjaitan, Silitonga, Siagian, dan Sianipar. Sementara Pardosi berasal dari Siagian.
Anganku lantas beralih ke sebuah kemungkinan. Yakni soal peluang Luhut terdepak dari kabinet Jokowi nanti. Saya berangan-angan apa jadinya Jokowi jika tak lagi didampingi LBP.
Pertanyaan ini sesungguhnya didasari pernyataan Jokowi beberapa waktu lalu yang mengklaim tak lagi punya beban politik di periode kedua. Siap melibas siapapun yang mencoba menghalangi langkahnya. Sekeras itu Jokowi berujar.
Sementara kita semua tahu, periode pertama Jokowi sangat banyak dibantu Luhut. Dari mendamaikan KPK vs Polri semasa menjabat Menkopolhukam hingga "merebut" kursi Ketua Umum Golkar. Luhut adalah menteri segala urusan bagi Jokowi, siap "membuldoser" siapapun yang tak seirama dengan Presiden.
Kalau begitu, mungkin nggak sih Jokowi tak lagi butuh Luhut? Toh, Jokowi kini sudah bisa leluasa bertindak sesuai keinginan, tanpa kompromi kiri-kanan, muka-belakang, pun atas-bawah. Pokoknya, hajar terus.
Tapi, saya pun berandai-andai kalau saja Luhut terdepak dari kabinet. Maka Jokowi bakal dibuat repot oleh calon oposisi terutama Gerindra dan PKS. Namun yang justru paling merepotkan berasal dari rekan sesama koalisi. Misalnya terkait bagi-bagi kursi menteri.
Bukan urusan mudah menghadapi manuver Cak Imin, misalnya, yang mengharap banyak jatah menteri. Berurusan dengan NasDem di bawah komando Surya Paloh, pun tak ringan. Belum lagi Golkar yang piawai bermain cantik.
Impian Jokowi yang terekam dalam pidato "Visi Indonesia" mungkin saja sulit terwujud, bahkan tak mustahil berantakan di tengah jalan. Lebih halusnya, terpaksa menyesuaikan diri dengan banyak kepentingan rekan koalisi.
Tapi ya sudahlah. Namanya juga angan-angan. Hanya berandai-andai belaka. Bukan sebuah prediksi, apalagi kebenaran. Semua tergantung Presiden Jokowi, masih tetap menggandeng Luhut atau tidak.