Keberuntungan itu adalah datangnya bantuan yang tidak diduga-duga pada saat situasi genting. Semakin beruntung karena sang penolong itu adalah Namboru Panjaitan. Klop sudah, langsung diajak ke rumahnya, makan daging (kuda) dengan sayur kol.
Begitulah waktu Abang pergi Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumut. Hujan deras hampir saja mengguyur tubuh ketika uang di kantong tak sanggup menyewa kamar penginapan. Tak ada kerabat di kampung itu, teman sekolah, pun teman satu gereja. Betul-betul main satu.
Di tengah jalan, Abang bertemu seorang ibu, kuberanikan martarombo (bertanya silsilah marga):Â
Ibu boru apa? Ternyata boru Panjaitan. "Masuk Pak Eko..."
Kusalami dia, "Horas, Namboru," kataku gembira.
"Bah, horas Bapa, marga apa?
"Pardosi aku Namboru."
"Bah, (masuk) Siagian ya. Ayo ke rumah kita, kehujanan Bapa nanti."
Begitulah, Namboru memang mempunyai peran khusus bagi orang Batak, terutama bagi mereka yang sedang kesusahan. Sedikit informasi, Namboru (bibi) adalah adik perempuan atau kakak perempuan dari ayah. Dengan kata lain, Namboru dan Abang sudah pasti satu marga, sebab Abang adalah anak dari ayah. Dalam tata adat Batak, seorang Namboru menyebut keponakan atau anak dari saudara laki-lakinya: Bapa atau Among. Panggilan yang sama jika Namboru memanggil ayah kandungnya sendiri.
Dalam tradisi Batak, Namboru biasanya juga sungkan menyebut nama keponakannya sehingga lazim menggunakan kata ganti: Bapa atau Among. Rasa sungkan itu sebetulnya didasari atas rasa hormat kepada "hula-hula" atau pihak pemberi istri dalam hal ini Namboru yang telah dinikahi Amangboru. Maka Amangboru (suami Namboru) juga sungkan menyebut nama Abang, bahkan ketika usia Abang jauh lebih muda. Sebagai gantinya, Amangboru akan memanggil Abang dengan sebutan "Tulang" (Paman).
Karena posisi Namboru wajib "hormat gerak" kepada Abang, saya pun menjadi senang walaupun sedang berada di kampung orang. Seorang Namboru sudah pasti memberikan pelayanan terbaik kepada Bapa/Among, tak peduli walau baru dikenal satu menit yang lalu. Seperti itulah tradisi yang sudah turun-temurun di kalangan masyarakat Batak.
Bila bertemu Namboru, rasanya segala urusan sudah hampir beres. Sebagai boru (anak perempuan), Namboru selalu berusaha semaksimal mungkin membuat Abang nyaman, tidak kecewa dan jangan sampai mengadu ke ayah. Bila laporan pengaduan itu sampai ke kuping ayah, habislah Namboru itu, termasuk Amangboru pasti kena getahnya.
Panjaitan adalah marga tertua dalam kelompok "Tuan Di Bangarna". Di bawah Panjaitan ada Silitonga, Siagian, dan paling bungsu Sianipar. Urutan marga ini jangan sampai keliru, karena pasti memicu perang saudara. Sedangkan Pardosi sendiri merupakan marga pecahan dari Siagian. Soal ini panjang ceritanya, Bro!
Walau masih satu kelompok atau rumpun marga, keturunan Tuan Di Bangarna saat ini sudah saling kawin-mawin. Artinya, Panjaitan bisa saja memperistri boru Siagian, demikian seterusnya. Yang dilarang keras itu, menikah dengan satu marga, dan ini berlaku untuk seluruh marga Batak. Semisal Panjaitan menikah dengan Panjaitan. Itu dilarang keras dan sejauh yang saya tahu, memang belum pernah terjadi. Termasuk Siagian dan Pardosi hingga kini masih tetap memegang teguh larangan pernikahan sesama marga tersebut.
Itulah sedikit pesan moral yang terselip dalam lagu "Sayur Kol" yang membahana itu. Bahwa ketika Abang bertemu dengan Namboru, amanlah barang itu. Tidak perlu khawatir lagi meski sedang berada di kampung orang.